Dengan karakter letusan tipe stramboli, aktivitas vulkanologi Gunung Slamet cenderung bersifat stabil dan tidak berbahaya, sesuai dengan catatan sejarah erupsinya.
KataKabar Online: Misteri – Gunung Slamet, yang menjulang tinggi di lima kabupaten, Brebes, Banyumas, Purbalingga, Pemalang, dan Tegal, menjadi tempat yang sarat akan mitos. Sebagaimana gunung-gunung di Pulau Jawa lainnya, Gunung Slamet memegang kedudukan yang sangat khusus dan dikeramatkan.
Salah satu mitos yang erat melekat di kalangan warga lereng Slamet adalah keyakinan bahwa Pulau Jawa akan terbelah jika gunung setinggi 3.428 mdpl ini meletus besar. Mitos ini semakin menarik karena Gunung Slamet terletak di tengah-tengah antara pantai utara dan selatan Pulau Jawa.
“Kata orang tua, kalau Slamet meletus besar bisa membelah pulau Jawa,” ujar Marko, warga Bobosan, Banyumas, Jawa Tengah.
Mitologi ini seakan terkait dengan ramalan Ki Jayabaya yang meramalkan suatu saat Pulau Jawa akan terbelah dua. Meskipun tidak jelas apakah ramalan ini berasal dari masyarakat atau Ki Jayabaya sendiri, namun banyak yang percaya bahwa keterbelahan ini akan dimulai dari letusan Gunung Slamet.
Namun, Eks Kepala Badan Geologi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Surono, membantah mitos ini. Menurutnya, tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa Gunung Slamet dapat membelah Pulau Jawa.
Surono menjelaskan bahwa kondisi magma di Gunung Slamet sangat tidak memungkinkan hal tersebut terjadi. Magma di Slamet memiliki sifat yang berbeda dengan gunung lain seperti Kelud dan Merapi. Magma di Gunung Slamet lebih encer, tidak mengandung banyak gas, dan tidak eksklusif seperti gunung-gunung lainnya.
“Paling-paling ya hanya seperti ini, seperti kalau botol minum bersoda dibuka. Justru bagus kalau ada dentuman, jadi tidak terakumulasi,” katanya.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kepala Bidang Geologi Dinas Energi Sumber Daya Mineral, Kabupaten Banyumas, Ir Junaedi, yang menyatakan bahwa letusan Gunung Slamet tidak berbahaya. Sejarah aktivitas vulkanologi Slamet, dari letusan pada abad ke-18 hingga erupsi terakhir pada 2009, membuktikan hal ini. Selain itu, karakter letusan Gunung Slamet dikategorikan sebagai tipe stramboli, di mana material yang dikeluarkan cenderung kembali jatuh di sekitar kawah atau memperbesar badan gunung.
Meskipun mitos tentang potensi pembelahan Pulau Jawa telah dibantah, masyarakat setempat tetap menjalankan ritual upacara ruwat bumi untuk menjaga keseimbangan alam. Tradisi ini diwarisi secara turun temurun sebagai bentuk penghormatan dan harapan agar Gunung Slamet tetap membawa keselamatan, ketentraman, berkah, dan kebaikan bagi masyarakat.
“Warga kita semua tentu berharap Slamet tetap sedia kala, adem ayem, tidak meletus besar seperti kata-kata orang tua dulu. Slamet itu artinya selamat dan menyelamatkan,” harap Warto, salah satu penduduk setempat.
Pemberian nama Slamet sendiri diyakini mengandung doa dan harapan. Harapannya adalah agar Gunung Slamet terus melindungi warga yang tinggal di sekitarnya dari bahaya-bahaya yang mungkin terjadi.
“Ya pokoknya Gunung Slamet itu sesuai namanya, yang artinya selamat. Semoga cuma batuk-batuk saja, tidak sampai meletus besar. Kita sama-sama berdoa dan tetap waspada,” pungkasnya.
Dengan demikian, mitos seputar Gunung Slamet menjadi kisah yang menarik di tengah masyarakat, namun tetap perlu dilihat dari sudut pandang ilmiah dan fakta geologis untuk menghindari ketakutan yang tidak beralasan. @redaksi