Dalam megahnya Gunung Lawu, tersembunyi misteri dan sejarah spiritual yang melibatkan perubahan nama puncak, jejak pemujaan kuno, dan ribuan misteri yang belum terjawab. Mari kita telusuri ke dalam keheningan puncak dan lerengnya, memaparkan misteri mendalam yang menghiasi Gunung Lawu sejak zaman dahulu.
KataKabar Online: Misteri – Gunung Lawu, yang menjulang tinggi di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, telah lama menyimpan misteri dan daya tarik spiritual bagi masyarakat. Serat Centhini, naskah kuno yang memiliki akar sejarah dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat Jawa, mencatat keberadaan 15 puncak di Gunung Lawu, tidak hanya tiga yang umum dikenal, seperti Hargo Dumilah, Hargo Dalem, dan Hargo Tiling atau Hargo Dumiling.
Kesakralan Gunung Lawu terdokumentasi sejak zaman dahulu, dengan naskah tertua yang menyebutkan hal ini adalah karya petualang dan bangsawan Kerajaan Sunda, Bujangga Manik. Naskah ini memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat pada masa itu menganggap gunung ini sebagai tempat yang sakral jauh sebelum puncaknya menjadi saksi moksanya Prabu Prawijaya.
Penelitian Priyatno Hadi Sulistyarto dalam Pergeseran Pusat Kegiatan Upacara Di Situs Megalitik Puncak Gunung Lawu, 1999, mengungkapkan adanya sepuluh situs pemujaan di puncak Gunung Lawu, terutama punden berundak yang menghadap ke arah puncak Hargo Dumilah. Ini menciptakan nuansa keagungan dan kekhusyukan di tempat ini, mencerminkan keberadaan spiritualitas yang mendalam.
Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari dalam penelitian mereka, “The Worship of Parwatarajadewa in Mount Lawu,” menyampaikan bahwa masyarakat setempat menyebut Gunung Lawu sebagai Wukir Mahendra Giri, yang berarti gunung yang unggul. Seiring dengan fakta bahwa gunung ini memiliki tiga puncak besar, penamaan ini menjadi semakin bermakna.
Namun, tidak hanya itu, Gunung Lawu juga memiliki sejarah perubahan nama yang menarik. Darusuprapta dalam laporan penelitiannya mengaitkan kemungkinan perubahan nama puncak-puncak gunung dengan Serat Centhini yang menyebutkan ada lima belas puncak. Hargo Dumiling, yang tidak disebutkan dalam Serat Centhini, diduga merupakan modifikasi dari Hargo Tiling, dengan indikasi yang ditemukan pada kesamaan bentuk puncak di bagian utara Gunung Lawu.
Sebuah penelitian yang menarik oleh Wahyudi dkk. mengungkapkan bahwa nama Gunung Lawu juga ditemukan dalam Serat Manikmaya, sebuah karya yang ditulis pada 1794 dan memiliki kesamaan dengan Tantu Panggelaran. Gunung Lawu, dalam konteks ini, dianggap sebagai salah satu dari delapan belas gunung keramat di Jawa Tengah, menunjukkan pentingnya gunung ini dalam konteks spiritual dan kepercayaan masyarakat setempat.
Perubahan Nama: Dari Gunung Katong ke Gunung Lawu
Perubahan nama Gunung Lawu menjadi penuh misteri. Poerbatjaraka dalam “Kapustakaan Djawi” menyatakan bahwa nama asli Gunung Lawu adalah Katong, yang artinya dewa. Nama ini ditemukan dalam Tantu Panggelaran, yang menyebut Gunung Katong sebagai bagian dari reruntuhan Gunung Mahameru yang dibawa oleh para dewa melintasi langit Pulau Jawa.
Menariknya, Poerbatjaraka mengidentifikasi Gunung Katong dengan Gunung Lawu. Dengan kata lain, Gunung Katong adalah nama kuno untuk Gunung Lawu. Namun, perubahan nama ini tidak dapat dipastikan, tetapi dapat ditelusuri dari sumber-sumber tertulis yang telah disebutkan sebelumnya.
Sebuah aspek menarik dalam cerita perubahan nama ini muncul dalam cerita rakyat di Ponorogo. Bhatara Katong atau Raden Katong, putra Bhre Kertabhumi dari Majapahit, dianggap sebagai cikal bakal atau penguasa pertama di Kabupaten Ponorogo. Raden Katong dikatakan pergi ke Gunung Lawu (Katong) setelah runtuhnya Majapahit, dan cerita ini memberikan pemahaman tambahan tentang konsep kesakralan dan hubungan erat antara Gunung Lawu dan masyarakat setempat.
Menurut Heru dan Coleta, Gunung Katong kemungkinan dipakai sebagai nama kuno Gunung Lawu selama pemerintahan Bhre Kertabhumi (1474-1478). Sebutan Gunung Katong pertama kali ditemukan dalam naskah Bhujangga Manik pada awal abad ke-16. Namun, perubahan nama menjadi Gunung Lawu diyakini terjadi pada abad ke-16, dan namanya tetap menjadi bagian penting dalam sejarah dan kepercayaan masyarakat sekitar.
Makna di Balik Perubahan Nama
Makna di balik perubahan nama Gunung Katong menjadi Gunung Lawu membuka jendela ke dunia spiritual dan kepercayaan masyarakat pada masa itu. Zoetmulder dalam “Kamus Jawa-Kuna Indonesia” menjelaskan bahwa kata “Katong” dapat diartikan sebagai dewa, hormat, dan kekaguman. Di sisi lain, kata “Lawu” memiliki arti tertinggi dan yang paling tinggi.
Dalam konteks ini, perubahan nama mungkin dipengaruhi oleh posisi gunung tersebut. Nama “Katong” terkait dengan reruntuhan Gunung Mahameru, dianggap suci dari India hingga Jawa, yang menggambarkan Gunung Lawu sebagai tempat para dewa bersemayam. Pemahaman ini sesuai dengan konsep bahwa gunung ini dianggap sebagai tempat yang suci dan dihormati oleh masyarakat.
Lebih lanjut, pengertian “Lawu” sebagai yang tertinggi dan yang paling tinggi dapat merujuk pada pemahaman bahwa Gunung Lawu dihuni oleh rsi dan para pertapa yang unggul. Gunung Lawu, sebagai gunung keramat, diyakini melahirkan para rsi dan pertapa yang memiliki kualitas spiritual yang luar biasa, terutama dalam hal asketisme. Dalam pandangan ini, seorang rsi yang unggul dalam asketisme dianggap lebih cepat menyatu dengan Tuhan.
Situs Pemujaan: Jejak Spiritualitas di Lereng Gunung Lawu
Berdasarkan penelitian yang mendalam, Gunung Lawu bukan hanya menyimpan misteri dalam perubahan namanya, tetapi juga dalam jejak spiritualitas dan pemujaan arwah leluhur yang terwujud dalam situs-situs kuno. Jurnal “The Worship of Parwatarajadewa in Mount Lawu” mengungkapkan bahwa pada masa klasik, Gunung Lawu merupakan salah satu gunung keramat di Jawa Tengah, mengingat statusnya sebagai salah satu dari enam puncak Gunung Mahameru yang dianggap suci.
Bukti arkeologi dari masa prasejarah dapat ditemukan sepanjang Kali Samin, termasuk Situs Watu Kandang Ngasinan yang terletak di lereng Gunung Lawu. Meskipun tidak ada situs yang secara langsung menghadap ke puncak gunung, tetapi lokasinya yang masih berada di kawasan lereng Gunung Lawu menunjukkan bahwa gunung ini dianggap sebagai tempat yang sakral.
Darmosoetopo dalam “Laporan Penelitian Peninggalan-Peninggalan Kebudayaan di Lereng Barat Gunung Lawu” menyebutkan bahwa temuan arkeologi termasuk Situs Sawit, yang memiliki patung kasar dan tidak proporsional, dan Situs Selembu yang terletak di kuburan dengan temuan arca nandi, miniatur rumah, dan fragmen lingga (lingga) yoni. Situs ini, secara lokal, dianggap sebagai pepunden atau rumah bagi tokoh leluhur masyarakat desa.
Situs pemujaan ini, yang masih digunakan oleh masyarakat setempat untuk ritual, mencerminkan hubungan erat antara manusia dan alam, antara roh leluhur dan generasi penerus. Patung-patung dan batu-batu berdiri menjadi saksi bisu dari kehidupan spiritual yang pernah berkembang di lereng Gunung Lawu.
Menggali Lebih Dalam: Kunci Jawaban Tersembunyi di Puncak Lawu
Dibalik misteri Gunung Lawu yang terkandung dalam perubahan nama dan situs-situs pemujaan, terdapat pertanyaan yang belum terjawab sepenuhnya. Mengapa masyarakat pada masa itu memberikan begitu banyak arti dan kekhusyukan kepada Gunung Lawu?
Salah satu jawaban mungkin terletak pada konsep Gunung Lawu sebagai salah satu dari enam puncak Gunung Mahameru yang suci. Kepercayaan ini menciptakan atmosfer keagungan dan kehormatan di sekitar Gunung Lawu. Selain itu, hubungan erat antara nama-nama puncak dan mitos-mitos yang melibatkan para dewa dan leluhur menciptakan landasan spiritual yang kuat bagi masyarakat setempat.
Perubahan nama dari Gunung Katong ke Gunung Lawu mungkin juga mencerminkan perubahan pandangan masyarakat terhadap gunung ini dari dewa yang dihormati menjadi tempat spiritualitas dan pertapaan yang tinggi. Sejarah perjalanan Raden Katong ke Gunung Lawu setelah runtuhnya Majapahit menambah dimensi baru dalam pemaknaan spiritual Gunung Lawu sebagai tempat pemukiman leluhur dan penciptaan kehidupan baru.
Pentingnya Gunung Lawu dalam konteks keagamaan terlihat pula dari pemujaan dan situs-situs kuno yang masih bertahan hingga kini. Patung-patung dan batu-batu berdiri menjadi bukti bisu dari pengabdian manusia terhadap roh leluhur dan keinginan untuk tetap terhubung dengan alam. Pemujaan arwah leluhur dalam bentuk pepunden menggambarkan keyakinan bahwa leluhur memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup manusia.
Misteri dan kekayaan sejarah Gunung Lawu masih menyisakan banyak pertanyaan. Bagaimana perubahan nama tersebut secara konkret memengaruhi pandangan dan praktik spiritual masyarakat pada masa itu? Apakah situs-situs pemujaan ini hanyalah jejak kehidupan masa lalu, atau masih memiliki relevansi dan makna dalam kehidupan spiritual masyarakat modern?
Menyusuri puncak dan lereng Gunung Lawu, tidak hanya melibatkan fisik namun juga memasuki dimensi kehidupan gaib dan kepercayaan yang melibatkan manusia dengan alam. Misteri yang terkandung dalam rimbunnya hutan dan kesejukan udara di Gunung Lawu mungkin akan terus merayapi pikiran manusia, mengajak mereka untuk terus mencari jawaban dari misteri yang masih tersembunyi di puncak dan lerengnya. @redaksi