Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, sebagai peristiwa terbesar dalam sejarah Indonesia, menandai semangat perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan. Pertempuran ini menginspirasi Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November, untuk mengingatkan pada pengorbanan para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan.
KataKabar Online: Histori – Pertempuran Surabaya, yang terjadi pada tanggal 10 November 1945, menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Pertempuran ini melibatkan pasukan pejuang Indonesia (PETA) yang dipimpin oleh mantan anggota Pembela Tanah Air, yang sebagian besar adalah pasukan Jepang dan Polisi Istimewa.
Latar Belakang
Pada tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan dalam waktu tujuh hari, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Kekaisaran Jepang. Pulau Jawa pun resmi diduduki oleh Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati.
Tiga tahun berlalu, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Kejadian ini menciptakan kekosongan kekuasaan, yang kemudian dimanfaatkan oleh Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Namun, setelah kekalahan Jepang, pasukan Inggris tiba di Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang dan hendak mengembalikan wilayah ini di bawah administrasi sipil Belanda, yang disebut Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pasukan Inggris ini, termasuk pasukan India Britania, mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945, memicu ketegangan di antara penduduk Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan dan pasukan sekutu yang mencoba mengembalikan kolonialisme.
Insiden Hotel Yamato
Pada 18 September 1945, insiden di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) memicu eskalasi konflik. Sebuah kelompok Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman, mengibarkan bendera Belanda tanpa izin pemerintah Indonesia Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.
Hal ini menyebabkan kemarahan di kalangan pemuda Surabaya. Mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasaan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama berselang, massa pun sudah terkonsentrasi di Hotel Yamato. Residen Soedirman, Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa. Residen Soedirman masuk ke Hotel Yamato dengan dikawal oleh Sidik dan Hariyono.
Di dalam Hotel Yamato, Residen Soedirman, berunding dengan Mr. Ploegman dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Namun, Ploegman menolak dan membuat perundingan menjadi panas. Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Dalam perkelahian itu, Ploegman tewas dicekik oleh Sidik. Namun, Sidik juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman. Sedangkan, Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.
Mengetahui kejadian itu, sebagian pemuda merangsek berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang pada awalnya bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera.
Hariyono bersama Koesno Wibowo pun berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Tewasnya Mallaby
Setelah insiden ini, pada 27 Oktober 1945, pertempuran meletus antara Indonesia dan tentara Inggris. Meskipun terjadi gencatan senjata pada 29 Oktober, bentrokan senjata tetap terjadi di Surabaya, dan Brigadir Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur) terbunuh pada 30 Oktober 1945.
Pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Ketika hendak melintasi Jembatan Merah, mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia. Pada saat itu, terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan terjadinya tembak menembak antara kedua belah pihak. Dalam peristiwa itu, Brigadir Jenderal Mallaby tewas oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan mobil yang ditumpanginya tersebut terbakar terkena ledakan granat, hingga jenazah Mallaby pun sulit dikenali.
Kematian Mallaby memicu kemarahan Inggris, dan Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum pada 10 November 1945, meminta Indonesia menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi.
Pertempuran Surabaya dan Semboyan “Merdeka atau Mati”
Ultimatum Inggris memicu kemarahan rakyat Surabaya. Pemuda dan kelompok bersenjata berkumpul di seluruh kota, dan semboyan “Merdeka atau Mati” menjadi moto perlawanan. Pada 10 November 1945, tentara Inggris melancarkan serangan, tetapi mereka menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Indonesia dan milisi rakyat.
Bung Tomo, salah satu tokoh penting dalam pertempuran ini, memainkan peran besar dalam memotivasi rakyat Surabaya. Tokoh agama, seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, juga turut mendukung perlawanan dengan menggerakkan santri-santri mereka.
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!
— Surabaya, 9 November 1945, jam 18:46
Dampak dan Akibat Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu itu merenggut banyak korban. Diperkirakan jumlah kematian berkisar antara 6.300 hingga 15.000, dan kurang lebih 200.000 orang yang mengungsi dari kota yang hancur. Dampak kemanusiaan yang tragis ini menyatukan semangat perjuangan rakyat Indonesia dan mendapatkan simpati internasional.
Peristiwa ini membawa perubahan signifikan dalam pandangan dunia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran ini, semangat perlawanan yang ditunjukkan oleh rakyat Indonesia membuat dunia internasional melihat Republik Indonesia sebagai entitas yang patut dihormati. Bahkan, Britania Raya kemudian mendukung perjuangan Indonesia di PBB.
Hari Pahlawan Sebagai Penghargaan untuk Perjuangan Surabaya
10 November kini diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan di Indonesia, mengenang jasa-jasa para pejuang yang gugur dalam pertempuran ini. Semangat “Merdeka atau Mati” dan perlawanan sengit di Surabaya memberikan momentum kuat bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran Surabaya ini juga menandai awal dari pengakuan dunia terhadap hak kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dalam sejarah perjuangan Indonesia, Pertempuran Surabaya mengukir jejak keberanian, semangat persatuan, dan keinginan kuat untuk menjadi bangsa merdeka. Semoga, dengan memahami peristiwa bersejarah ini, generasi sekarang dan mendatang dapat terus menghargai dan menjaga nilai-nilai kemerdekaan yang begitu berharga bagi bangsa Indonesia. Perjuangan para pahlawan dalam Pertempuran Surabaya harus tetap menjadi inspirasi bagi kita semua untuk menjaga dan memperjuangkan kemerdekaan, serta membangun bangsa yang lebih baik di masa depan. @redaksi