Raden Ayu Tan Peng Nio, mengalami pelarian saat perang Geger Pacinan. Lalu, ia menjadi bagian dari pasukan KRAT Kolopaking II, menyamar sebagai prajurit laki-laki, dan berhasil melibas penindasan Belanda dalam perang yang berlangsung selama 16 tahun.
KataKabar Online: Tokoh – Raden Ayu Tan Peng Nio, seorang perempuan pejuang keturunan Tionghoa. Ia melibatkan diri dalam perang Geger Pacinan melawan tentara Belanda. Namun, sebelum terjun ke dunia peperangan, kisah hidupnya penuh liku-liku yang dimulai dari keluarga dan keputusan berani yang diambilnya saat itu.
Latar Belakang Keluarga dan Pemberontakan
Tan Peng Nio adalah anak dari Jenderal Tan Wan Swee, seorang tokoh yang tidak hanya berpengaruh di Tiongkok, tetapi juga terlibat dalam pemberontakan yang gagal terhadap Kaisar Qian Long dari Dinasti Qing. Konflik antara Tan Wan Swee dan kaisar membuatnya berpikir untuk melindungi sang putri.
Dalam keputusan yang penuh pertimbangan, Jenderal Tan Wan Swee menitipkan Tan Peng Nio kepada sahabatnya, Lia Beeng Goe. Lia Beeng Goe, selain menjadi ahli pembuat peti mati, juga memiliki keahlian dalam bela diri. Langkah ini membawa Tan Peng Nio ke perjalanan yang tak terduga.
Pelarian ke Singapura dan Sunda Kalapa
Saat pemberontakan terhadap kaisar gagal, Tan Peng Nio dan Lia Beeng Goe memutuskan untuk melarikan diri. Mereka melakukan pelarian hingga ke Singapura, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Sunda Kalapa, yang kini dikenal sebagai Jakarta. Di sana, Tan Peng Nio tidak hanya berusaha menyembunyikan identitasnya, tetapi juga mulai mengasah keterampilan bela diri dari Lia Beeng Goe.
Terlibat dalam Perang Geger Pacinan
Pada tahun 1740, kisah heroik Tan Peng Nio mencapai puncaknya ketika terjadi Geger Pacinan. Peristiwa ini dikenal sebagai huru-hara di mana etnis Tionghoa menjadi sasaran pembantaian oleh tentara VOC Belanda. Dalam situasi genting ini, Tan Peng Nio dan Lia Beeng Goe mengungsi ke arah Timur, mencapai Kutowinangun (Kebumen, Jawa Tengah).
Di Kutowinangun, kisah perjalanan Tan Peng Nio berlanjut ketika ia bertemu dengan Kiai Honggoyudho, seorang ahli pembuat senjata. Bersama-sama, mereka membentuk pasukan bentukan KRAT Kolopaking II untuk melawan penindasan Belanda yang terus berlanjut.
Selama 16 tahun (1741-1757), Tan Peng Nio berada di garis depan perang bersama 200 pasukan KRAT Kolopaking II, yang dikirimkan untuk memberikan dukungan kepada pasukan Pangeran Garendi. Dalam perjalanan ini, ia bahkan dikabarkan menyamar sebagai seorang prajurit laki-laki untuk menghindari pengungkapan identitasnya. Perang berakhir dengan perundingan Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.
Kehidupan Pascaperang dan Keluarga
Setelah perang berakhir, Tan Peng Nio menikah dengan KRT Kolopaking III. Pasangan ini memilih untuk menetap di Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah. Dari pernikahan mereka, lahir dua orang anak, KRT Endang Kertawangsa dan RA Mulat Ningrum.
Tan Peng Nio dikebumikan dengan penuh kehormatan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kebumen, Jawa Tengah. Makamnya dibangun dengan gaya tradisional Tionghoa yang mencerminkan warisan budayanya.
Referensi:
- “Raden Ayu Tan Peng Nio: Mulan dari Tanah Jawa.” Tionghoa.info. https://www.tionghoa.info/raden-ayu-tan-peng-nio-mulan-van-java/
- “Raden Ayu Tan Peng Nio Mulan dari Tanah Jawa.” Kompas. https://bebas.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/07/raden-ayu-tan-peng-nio-mulan-dari-tanah-jawa/
- “R.A. Tan Peng Nio: Prajurit Perempuan Tionghoa yang Bertempur Melawan VOC.” Jernih.co. https://jernih.co/potpourri/r-a-tan-peng-nio-prajurit-perempuan-tionghoa-yang-bertempur-melawan-voc/