Setiadjit Soegondo adalah tokoh perlawanan Indonesia yang membangun reputasi sebagai mahasiswa dan aktivis di Belanda. Ia pun terlibat dalam perang melawan pendudukan Jerman di Belanda. Setelah kembali ke Indonesia, Setiadjit aktif di pemerintahan dan Partai Buruh Indonesia, sebelum akhirnya ditangkap dan dieksekusi pada 20 Desember 1948.
KataKabar Online: Tokoh – Setiadjit Soegondo, tak banyak yang mengenal namanya, namun ia adalah seorang tokoh perlawanan Indonesia. Setiadjit dilahirkan pada tahun 1907 atau 1910 dari keluarga aristokrat di Hindia Belanda (Indonesia).
Pada tahun 1927, Setiadjit dikirim ke Belanda untuk bersekolah, dan dia tiba di sana bersama Soedrio Miewalladi. Keduanya berasal dari keluarga berada, Soedrio sebagai anak dokter Jawa, sedangkan Setiadjit adalah anak Bupati. Keduanya merupakan lulusan sekolah menengah elit yang jumlahnya sedikit di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga aktif dalam Perhimpoenan Indonesia (PI).
Latar belakang tokoh perlawanan Indonesia ini tidak terlalu banyak dicatat, tetapi menurut “British documents on foreign affairs” dia lahir tahun 1910 dari keluarga aristokrat. Sementara itu, Jennifer L. Foray dalam “Visions of Empire in the Nazi-Occupied Netherlands” menyebut usianya sudah 20 tahun ketika tiba di Belanda, sehingga diperkirakan dia lahir tahun 1907.
Setiadjit Soegondo diyakini lulus dari sekolah menengah elit Hogere Burger School (HBS), yang pada masa itu hanya dapat diakses oleh anak-anak Belanda dan beberapa anak penggede pribumi seperti ayah Setiadjit.
Membangun Reputasi di Negeri Kincir Angin
Di Belanda, Setiadjit muda segera membangun reputasi sebagai mahasiswa yang mudah bergaul. Soe Hok Gie dalam bukunya “Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948” mencatat bahwa Setiadjit adalah mahasiswa yang senang berada di klub malam hingga tahun 1935. Ketika keuangannya sedang sulit, kawan-kawan sesama komunis seperti Abdulmadjid membantu Setiadjit.
“Pengkomunisan Setiadjit berjalan lama dan perlahan-lahan,” tulis Soe Hok Gie.
Diketahui, Abdulmadjid yang memengaruhi kekomunisan Setiadjit. Abdulmadjid adalah anak seorang bupati, dan juga anak tiri dari R.A. Kartini.
Setiadjit pernah dikirim ke Berlin untuk aktif di Liga Anti Imperialis dan memiliki pengaruh di kalangan mahasiswa dan buruh kapal Indonesia. Pada tahun 1933, Setiadjit menjadi Ketua Perhimpoenan Indonesia (PI). Tetapi, karena sakit pada tahun 1935, dia harus ke Swiss dan baru kembali pada tahun 1937. Mulai tahun 1938, dia aktif kembali di PI dan berafiliasi dengan Communist Partij Nederland (CPN).
Pada Agustus 1939, Setiadjit menjadi delegasi dalam Congress of World Student Assembly di Paris, di mana dia berkenalan dengan Eric Hobsbawm, sejarawan Marxis Inggris terkenal. Eric Hobsbawm mengenang Setiadjit dalam autobiografinya “Interesting Times: A Twentieth-Century Life”, menyebutnya sebagai pemimpin serikat buruh terkemuka di Indonesia setelah perang, hingga terbunuh dalam pemberontakan komunis Madiun 1948.
Melawan Pendudukan Jerman
Ketika Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, Setiadjit masih berada di sana. Ratu Wilhelmina dan pemerintahannya kabur ke Inggris, sementara Setiadjit menjadi salah satu pemimpin Indonesia dalam kelompok perlawanan anti-Jerman, Vrije Nederland (Pembebasan Belanda), di front Eropa Perang Dunia II. Dia harus sering bersembunyi dari tentara Jerman, dan menurut majalah Indonesia (24/11/1945), Setiadjit menjadi tokoh yang banyak dicari oleh Sicherheits Dienst (Dinas Keamanan Jerman).
Pada 1940, Setiadjit menyatakan, perang ini bukanlah untuk demokrasi atau melindungi bangsa-bangsa kecil. Keterlibatannya melawan Jerman tidak untuk Ratu Wilhelmina atau kerajaan Belanda. Menurutnya, sebagai solidaritas kepada rakyat Belanda yang tidak terlibat dalam kolonialisme di Indonesia.
“Ini bukan perang demi demokrasi, demi melindungi bangsa-bangsa kecil dan lemah, demi kemerdekaan, dan juga bukan perang semata-mata, melainkan perang kaum imperialis untuk membagi ulang dunia.”
Setiadjit Soegondo (1940)
Dalam tulisannya yang berjudul “De Toestand” (keadaan), Setiadjit menyatakan bahwa dengan larinya pemerintah Belanda, mereka secara formal dan moral telah kehilangan hak untuk memerintah Indonesia.
Kembali ke Indonesia, Berjuang, dan Dieksekusi
Setelah perang berakhir, Setiadjit kembali ke Indonesia dan aktif di Partai Buruh Indonesia (PBI). Sementara itu, banyak anggota PBI yang juga masuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia juga menjadi bagian dari pemerintahan, menjabat sebagai Menteri Muda Perhubungan dalam Kabinet Sjahrir III. Selain itu, ia juga menjadi Wakil Perdana Menteri selama pemerintahan Amir Sjarifuddin. Baik dalam Kabinet Amir I maupun II.
Omongan-omongan miring tentang Setiadjit pun tak terhindarkan. Terlebih, Sebagai ia pernah menjadi anggota parlemen di Belanda. Seperti ditulis dengan sinis di brosur Murba (3-4/04/1948), yang dikutip juga oleh Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3: Maret 1947-Agustus 1948 (2010):
“Setiadjit dikirim ke Indonesia sebagai pelopor dari Komisi Jenderal, sebagai duta dari politik imperialis. Herankah kita kalau hidupnya Setiadjit, sesudah perang ini mendadak menjadi mewah-mewah? Herankah kita kalau istrinya satu-satunya orang Indonesia yang diperbolehkan menumpang kapal pesiar […] lux (mewah) dari Nederland ke Indonesia ini?”
Brosur Murba tersebut disebarkan oleh kelompok komunis jaringan Tan Malaka. Diketahui, kelompok Tan Malaka ini bersilang jalan dengan PKI pimpinan Moesso dan Amir, di mana Setiadjit tergabung di dalamnya.
Setelah jatuhnya kabinet Amir dan terlibatnya Amir dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 1948 di Madiun, Setiadjit ikut ditangkap dan dihukum mati pada 20 Desember 1948. @redaksi