Sri Susuhunan Pakubuwana VI lahir sebagai pahlawan dari Kraton Surakarta. Berjuang bersama Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, meninggalkan jejak heroik dalam sejarah Indonesia.
KataKabar Online: Tokoh – Sri Susuhunan Pakubuwana VI atau yang lebih akrab disapa PB VI, merupakan salah satu pahlawan yang berasal dari lingkungan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, atau yang dikenal sebagai Kraton Solo. Beliau dikenal sebagai tokoh yang berjuang bersama Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa yang berlangsung pada rentang waktu 1825-1830.
Awal Kehidupan dan Kenaikan Takhta
PB VI lahir dengan nama Raden Mas Sapardan, sebagai putra dari Susuhunan Pakubuwana V dan Raden Ayu Sosrokusumo. Menurut Jurnal Penelitian dan Pendidikan Sejarah dari Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, PB VI naik takhta pada Senin Kliwon, 9 Sura tahun Dal 1751 atau 15 September 1823.
Pada masa kekuasaannya, patihnya adalah Kanjeng Raden Arya Sosrodiningrat II, yang juga merupakan pengasuh sekaligus paman dari PB VI. Dalam melaksanakan tugasnya, PB VI juga dibantu oleh beberapa tokoh penting, antara lain Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi (putra PB III), Kanjeng Gusti Pangeran Hadinagoro, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Buminoto, dan Kanjeng Gusti Pangeran Kusumoyudo.
Konflik dengan Pemerintah Kolonial Belanda
Konflik antara PB VI dan Pemerintah Kolonial Belanda sudah muncul sejak awal pemerintahannya. Sebagai pahlawan dari Kraton Solo, PB VI memiliki sebutan “Souvereign,” yang berarti ia memiliki kewenangan untuk lepas dari kewajiban memberikan bantuan kepada pemerintah kolonial. Namun, kenyataannya adalah ia tetap harus membayar kepada pemerintah kolonial.
Selain itu, PB VI tidak mempercayai isu mengenai kematian Hamengkubuwana IV yang disebabkan oleh ambisi Pangeran Diponegoro untuk menjadi raja. PB VI meyakini bahwa berita tersebut hanya merupakan karangan dari pihak Belanda. Sikap anti-kolonialisme PB VI membuatnya memiliki kesamaan pandangan dengan Pangeran Diponegoro, dan keduanya saling menghormati serta bekerja sama dalam mengusir penjajah.
Siasat Melawan Belanda
Dalam perlawanan mereka terhadap Belanda, PB VI dan Pangeran Diponegoro merancang berbagai siasat untuk mengelabui musuh. Salah satunya adalah Siasat Mimis Kencana, di mana keduanya berpura-pura berperang untuk mengelabui Belanda, sementara tujuan sebenarnya adalah membantu Pangeran Diponegoro.
Siasat Condrodimuko juga menjadi bagian dari upaya PB VI dalam menghadapi Belanda. Ini merupakan sandi yang digunakan PB VI untuk berkomunikasi dengan Pangeran Diponegoro mengenai strategi perlawanan. Menurut Dani Saptoni, Ketua Solo Societeit, siasat ini adalah perjanjian antara keduanya untuk menghimpun kekuatan dan memecah konsentrasi Belanda.
Konflik Internal dan Akhir Pemerintahan
Perang Jawa berhasil menyudutkan Belanda, tetapi pada tahun 1827, Jenderal De Kock menerapkan siasat Benteng Stelsel atau siasat Benteng. Tujuannya adalah mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa benteng di daerah-daerah yang telah dikuasai.
Siasat ini sukses, dan pada tahun 1829, pendukung Pangeran Diponegoro dan PB VI tersudut di sekitar Magelang. Pada tahun 1830, Pangeran Diponegoro akhirnya ditangkap, sementara PB VI juga tersudut karena tekanan dari pemerintah kolonial dan kondisi ekonomi di sekitar Kraton Solo yang memburuk.
Selain itu, PB VI menghadapi konflik internal di Kraton Solo. Pada tahun 1825, muncul kelompok oposisi yang menentang kekuasaan PB VI. Kelompok ini dipimpin oleh beberapa pangeran senior yang gagal mendapatkan takhta kerajaan dalam proses suksesi tahun 1823.
Puncak konflik internal terjadi pada tahun 1830, ketika pemerintah kolonial mengalami krisis finansial dan mencoba mengambil kesempatan dengan mengakuisisi wilayah mancanegara, yang disebut sebagai wilayah Mancanegara, dari Kraton Surakarta. Dalam perundingan penyerahan wilayah mancanegara, PB VI mengalami tekanan dari internal Kraton dan akhirnya setuju untuk lengser pada tahun 1830. Ia digantikan oleh PB VII.
Pembuangan ke Ambon dan Akhir Hidup
Setelah lengser, PB VI dibuang ke Ambon oleh pemerintah kolonial, dianggap sebagai pemberontak. Pada 5 Juli 1849, PB VI meninggal dunia selama masa pembuangannya. Awalnya, jasadnya dimakamkan di Ambon, namun pada 10 Maret 1957, jasadnya dipindahkan ke Imogiri, Yogyakarta.
Sebagai penghargaan atas perjuangannya melawan penjajahan Belanda, PB VI diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Republik Indonesia. Pengakuan ini diterbitkan melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964. Hingga kini, Sri Susuhunan Pakubuwana VI tetap dikenang sebagai pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan tanah air. @redaksi