Cota Blunda dan Benteng Vastenburg, merupakan saksi bisu perkembangan kolonial Belanda di Kota Surakarta atau Solo. Dari pemukiman Eropa hingga kompleksitas struktur kota, Kali ini kita akan menggali keindahan masa lalu yang terukir di jantung Vonstenlanden Surakarta.
KataKabar Online: Histori – Kota Surakarta, atau yang lebih dikenal sebagai Solo, memiliki sejarah yang kaya akan jejak kolonial Belanda yang masih terlihat hingga saat ini. Salah satu bukti keberadaan kolonial Belanda adalah Cota Blunda, atau yang dikenal sebagai Kota Belanda. Kompleks hunian ini menjadi tempat tinggal bagi warga Belanda dan Eropa yang mendiami kota raja. Meskipun sebagian telah hilang akibat pembangunan era modern, beberapa jejak kota mini tersebut masih dapat ditemui di berbagai tempat di Solo.
Menurut laman resmi Pemerintah Kota Solo, Cota Blunda mencakup kampung lawas bernama Loji Wetan. Berlokasi di Kelurahan Kedung Lumbu, Kecamatan Pasar Kliwon, kampung ini tidak jauh dari Pasar Gedhe Hardjonagoro, tepatnya di sebelah timur Benteng Vastenburg. Loji Wetan, sebuah kata dari bahasa Belanda yang berarti “omah” atau “rumah besar,” dipadukan dengan “wetan” dari bahasa Jawa yang berarti “timur,” menggambarkan arah geografis tempat ini.
Sejarawan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Susanto, mengungkapkan bahwa Benteng Vastenburg menjadi permukiman Eropa pertama di Kota Solo sekitar tahun 1750-1790. Yang menarik, tidak semua penduduk di sana berasal dari kulit putih, karena ada juga yang merupakan penduduk pribumi.
“Pada saat itu banyak tentara Belanda yang memiliki istri dari pribumi sehingga mereka ikut tinggal di dalam benteng,” ujar Susanto, seperti dikutip dari Kantor Berita Antara pada Rabu, 28 Februari 2018.
Bersamaan dengan masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels sekitar tahun 1808, keberadaan Benteng Vastenburg semakin menguat. Pada tahun itu, suasana mulai aman, dan pemukiman baru bermunculan beserta fasilitas-fasilitas baru.
Perubahan sistem pemerintahan Belanda dari sistem pertahanan statis menjadi mobile atau berkeliling memberikan kesempatan bagi masyarakat Eropa untuk mendirikan pemukiman di lokasi tersebut, menandai awal dari apa yang kemudian dijuluki sebagai kota mini di Solo.
Pada tahun 1832, Benteng Vastenburg telah berkembang menjadi pemukiman yang lengkap dengan berbagai fasilitas. Mulai dari rumah Komandan Belanda, gudang senjata, apotik, rumah sakit, penjara, hingga bengkel dapat ditemukan di sana.
Bimo Hernowo dari Universitas Utrecht Belanda, dalam studi tahun 2015 mengenai lokasi benteng-benteng di Surakarta, menyebut Cota Blunda sebagai kawasan pemukiman Eropa yang berhadapan dengan benteng Belanda yang dibangun pada 1672.
Bimo mengutip laporan D’Almeida dari Archief Nationaal Den Haag yang menyatakan, “Facing the fort are a number of European house; and behind it is situated the Cota Blunda, or the old Dutch quarter, the only part of the town in which, till within late years, for their safety and protection from the natives, who used to be troublesome and dangerous, European inhabitant were permitted to reside.” ( D’Almeida, 1864: 51).
Artinya: “Menghadap benteng adalah sejumlah rumah Eropa; dan di belakangnya terletak Cota Blunda, atau kawasan tua Belanda, satu-satunya bagian kota di mana, sampai dalam tahun-tahun terakhir, untuk keselamatan dan perlindungan mereka dari penduduk asli, yang dahulunya menyusahkan dan berbahaya, penduduk Eropa diizinkan untuk tinggal.”
Cota Blunda, seperti yang dijelaskan oleh Bimo, dapat merujuk bukan hanya pada Loji Wetan, tetapi juga bisa mencakup kawasan Kedung Lumbu, Pasar Kliwon. Hal ini menggambarkan kompleksitas dan luasnya kawasan pemukiman Eropa di Solo pada masa itu.
Bimo juga menuliskan, Benteng Vastenburg yang dibangun pada 1672 (kemungkinan benteng citadel) itu berhadapan dengan kawasan hunian Eropa, menghadap ke arah timur, mengarah ke Sungai Bengawan. Cota Blunda, terletak di sebelah barat Benteng 1756 (Benteng Vastenburg).
“Cota Blunda yang dimaksud oleh D Almeida disini adalah kata Kota Belanda atau kawasan pemukiman Eropa yang bisa di interpretasikan bukan hanya pada Loji Wetan melainkan bisa merupakan kawasan Kedung Lumbu, Pasar Kliwon,” ungkapnya.
Kawasan di sekitar Benteng 1672 dan geprojecteerde fort van Soeracarta 1756, yang kemungkinan awalnya terletak di dalam atau di sekitar citadel atau benteng kota di pinggiran sungai Bengawan Solo berbentuk setengah lingkaran. Di tempat itu disebutkan sebagai tempat yang aman bagi penghuni berdarah Eropa tersebut.
“To the left, beyond the road, a portion of the old Kraton?s ruined walls was just visible though the tangled network of wild plants and trees. On the right hand is the Peppay road, so called from a small river which runs past it, dividing the Chinese from the European quarter.” (D’Almeida, 1864: 51).
Artinya: “Di sebelah kiri, di seberang jalan, sebagian dari reruntuhan tembok Kraton lama hanya terlihat melalui jaringan tanaman dan pohon liar yang kusut. Di sebelah kanan adalah jalan Peppay, yang disebut dari sungai kecil yang mengalir melewatinya, memisahkan Cina dari kawasan Eropa.”
Bimo pun menerangkan, bahwa jika merujuk pada peta tahun 1837, yang menjadi referensi terdekat dengan kondisi pada tahun 1864 seperti yang dihadapi oleh D’Almeida, tampaknya kawasan kota Belanda bisa terletak di sekitar Stasiun Solo Kota atau Stasiun Sangkrah, bukan hanya di Loji Wetan. Ini dapat didukung dengan fakta bahwa stasiun kota biasanya berdekatan dengan kawasan kota tua.
Hal ini bisa dibuktikan bahwa biasanya posisi stasiun kota terletak sangatlah berdengkatan dengan kawasan kota tua. Diduga Jalan Peppay yang disebutkan oleh D’Almeida adalah sepanjang Sungai Pepe, yang mungkin terletak di sekitar (sebelah utara) Jalan Demangan.
Di kawasan ini, di sebelah utara Sungai Pepe, merupakan Kawasan Chinese Wijk atau Pecinan. Pertemuan antara Sungai Bengawan dan Sungai Pepe ikut menentukan sejarah Kota Solo.
Pembangunan masa lalu di Solo mencatat peristiwa besar pada interval 1745-1821. Pada rentang waktu tersebut, kolonial Belanda memasuki Solo bersamaan dengan Keraton Mataram dari Kartasura. Keraton Mataram yang awalnya berlokasi di Kota Gede telah berpindah tiga kali sebelum kembali ke Solo setelah perang besar yang terjadi, seperti Geger Pacinan (1742) dan peperangan Belanda melawan Cakraningrat (1742).
Setelah melalui survei pemilihan lokasi untuk keraton, Desa Sala dipilih sebagai tempat berdirinya keraton. Belanda dan Mataram, masing-masing dengan kepentingan dan konsep tata-kota sendiri, memberikan kontribusi besar dalam membentuk wajah Kota Solo. Konsep kota koloni Belanda dan konsep kota kosmologi keraton menyatu, menciptakan karakteristik khusus dan unik dari Kota Solo. Pola kota organik yang telah ada sejak lama oleh masyarakat pribumi juga turut memperkaya struktur kota.
Perpecahan Keraton Mataram menjadi dua kerajaan pada tahun 1755 (Kasunanan dan Kasultanan), kemudian tiga kerajaan pada tahun 1757 (Kasunanan, Kasultanan, dan Mangkunegaran), dan empat kerajaan pada tahun 1812 (Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, dan Pakualaman) membawa dampak signifikan pada perkembangan struktur kota Solo. Wilayah Solo terbagi menjadi dua, yakni wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran. Kota ini berkembang menjadi kota dengan dua wilayah yang memiliki konsep kosmologi Jawa.
Sementara itu, kampung-kampung Jawa tumbuh memusat mengikuti kekuatan dua raja Solo tersebut. Kampung Cina dan Kampung Arab juga berkembang di bekas bandarnya masing-masing. Pada sisi lain, kampung Belanda/Eropa mulai tumbuh di dalam dan di luar Benteng Vastenburg seiring dengan banyaknya pendatang baru.
Dengan semakin banyaknya penduduk di pemukiman Eropa (Belanda, Inggris) dan Timur Asing (Cina, Arab, India), fasilitas-fasilitas selain rumah tinggal menjadi semakin penting. Tempat ibadah, sekolah, tempat jual-beli kebutuhan, tempat mengurus kependudukan, dan lain-lain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat heterogen ini. Oleh karena itu, Solo pada periode ini telah berkembang menjadi kota yang mencakup fungsi perkantoran (administrasi dan asuransi) dan perdagangan (toko, gudang, pasar).
Kota Solo pada masa itu dianggap oleh masyarakat asing (Belanda, Cina, Arab, India) sebagai tempat yang kondusif untuk beraktivitas. Bangunan-bangunan kantor, sekolah, gereja, gudang, dan pemukiman Eropa menjadi gambaran konkret dari kondisi Kota Solo yang semakin beragam dan heterogen pada masa kolonial.
Masyarakat Cina dan Arab/India juga ikut berkontribusi dalam pembangunan dengan mendirikan banyak toko di seluruh kota, menunjukkan adanya keamanan dan ketertiban bagi masing-masing kelompok.
Sejarah Kota Solo yang kaya dan kompleks ini mencerminkan interaksi antara berbagai kekuatan dan budaya di masa lalu. Cota Blunda dan Benteng Vastenburg menjadi bukti fisik dari periode kolonial Belanda yang membentuk pola dan struktur kota hingga saat ini.
Dengan menjaga dan memahami warisan sejarah ini, kita dapat lebih memahami perjalanan panjang kota ini dari masa lalu hingga menjadi kota yang dinamis dan multikultural seperti yang kita kenal sekarang. @redaksi