Pergundikan, praktik yang banyak terekam dalam sejarah berbagai peradaban, seperti Tiongkok kuno, Yunani, Romawi, dan Hindia Belanda. Hal ini menggambarkan kompleksitas kehidupan pribadi elite dan para penguasa. Meskipun Nyai sering dipandang sebelah mata, namun di balik itu, mereka memiliki peran positif sebagai cultural mediator.
KataKabar Online: Budaya – Dalam berbagai peradaban kuno, elite masyarakat dan para penguasa banyak disoroti dengan gaya hidup pribadi mereka yang kadang kontroversial. Salah satu praktik yang kerap menarik perhatian adalah kepemilikan gundik atau selir, yang tak hanya dilakukan oleh kalangan elite dan penguasa Tiongkok kuno, Yunani-Romawi, tetapi juga di era kolonial Hindia Belanda.
Pergundikan di Tiongkok Kuno:
Di Tiongkok kuno, praktik pergundikan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan istana. Para selir tidak hanya dianggap sebagai objek kepuasan seksual, tetapi juga diberi peringkat sesuai dengan tingkat kepuasan kaisar atas pelayanan mereka. Pergundikan menjadi cara bagi penguasa untuk meningkatkan prestise mereka melalui keturunan yang dihasilkan.
Praktik ini juga banyak dijumpai di peradaban Yunani kuno dan Romawi.
Nyai dalam Hindia Belanda:
Praktik memiliki selir juga merajalela di Hindia Belanda pada masa kolonial. Pejabat-pejabat Belanda tidak hanya memiliki istri, tetapi juga mengambil selir wanita di Nusantara yang kemudian dikenal sebagai Nyai. Meskipun sering dipandang sebelah mata, Nyai sebenarnya memiliki peran positif sebagai cultural mediator antara budaya Barat dan Timur.
Menurut penelitian FX. Domini BB Hera dan Daya Negri Wijaya, yang dipublikasikan pada tahun 2014 dengan judul “Terasing dalam Budaya Barat dan Timur: Potret ‘Nyai’ Hindia Belanda, Abad XVII-XX”, Nyai tidak hanya menjadi objek nafsu seksual semata, tetapi juga memiliki peran dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka membantu menyatukan budaya Barat dan Timur, meskipun hidup dalam penghinaan dan kerja berat.
“Ketika para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar 1600, dimulailah kemunculan para nyai. Perempuan pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang kolonial tetapi juga tidur dengannya dan pada banyak kasus,menjadi ibu dari anak-anaknya. Hal itu bukanlah hal baru pada abad ke-17. Namun kedatangan VOC membuatnya berangsur-angsur menjadi ciri dan sifat sebuah sistem yang cukup kekal dalam kehidupan masyarakat Eropa di Hindia Belanda.”
“Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda” (Reggie Bay)
Penulis sejarah kolonial asal Belanda, Reggie Baay, menyebut kuputusan seorang lelaki kolonial “mengambil” seorang nyai, merupakan gejala umum dan seolah sesuatu hal yang bisa diterima oleh banyak orang kala itu. Jika pada awal-awal kolonialisme di Hindia Belanda, sistem perbudakan adalah suatu keniscayaan, maka selanjutnya pergundikan dengan seorang perempuan pribumi menjadi ciri dan sifat sebuah sistem kehidupan masyarakat Eropa di Hindia Belanda.
Kisah Nyai:
Dalam sorotan sejarah pergundikan di Hindia Belanda, dua kisah nyai mencuat. Lamira, lahir di Surabaya pada tahun 1853, menjadi nyai seorang Indo-Eropa bernama Johannes. Meskipun hidup dalam pergundikan, mereka memiliki kehidupan keluarga dengan empat anak. Setelah kematian Johannes, anak-anak mereka diadopsi oleh keluarga Eropa.
Saila, lahir dari keluarga miskin di Jawa Barat tahun 1884, dijadikan nyai oleh Edward dari Belgia. Meskipun nasib Edward tragis, Saila terus melanjutkan hidupnya dan menikah dengan seorang pribumi setelah pergundikan berakhir.
Jugun Ianfu di Era Penjajahan Jepang
Pergundikan dan kehidupan Nyai akhirnya berakhir dengan masuknya Jepang pada tahun 1942. Namun, di era penjajahan Jepang muncul praktik perbudakan seks yang lebih kejam, yang dikenal sebagai Jugun Ianfu.
Dalam refleksi sejarah ini, kita melihat bahwa pergundikan bukan hanya cerminan kehidupan pribadi para penguasa, tetapi juga kompleksitas hubungan antarbudaya di masa lampau. Pergundikan mungkin telah berakhir, namun cerita Nyai tetap menjadi bagian penting dalam sejarah peradaban yang perlu kita pahami dan kenang. @redaksi