Pemberontakan Trunojoyo pada abad ke-17 menjadi puncak ketegangan politik di Mataram Islam, dipicu oleh gaya pemerintahan sewenang-wenang Amangkurat I yang pro-Belanda. Kemenangan Trunojoyo memaksa Amangkurat I melarikan diri.
KataKabar Online: Histori – Jika ada satu pemberontakan yang telah meninggalkan jejak kelam yang tak terhapus dalam sejarah Mataram Islam, maka mungkin Pemberontakan Trunojoyo adalah jawabannya. Besarnya pemberontakan ini bahkan mampu membuat Raja Mataram Islam, Amangkurat I, terpaksa melarikan diri ke Tegal, sementara ibukota Mataram, Keraton Plered, menjadi saksi bisu dari penjarahan yang merusaknya.
Mengapa Pemberontakan Ini Begitu Besar?
Pemberontakan Trunojoyo dapat dianggap sebagai titik puncak pemberontakan terbesar terhadap kekuasaan Mataram Islam. Untuk meredamnya, Mataram Islam bahkan harus menjalin perjanjian dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda yang kuat pada masa itu. Kesepakatan ini dikenal sebagai Perjanjian Jepara, ditandatangani antara Amangkurat II dan VOC pada tahun 1677.
Pemberontakan Trunojoyo dipicu oleh gaya pemerintahan Amangkurat I yang sewenang-wenang dan bersikap pro-VOC. Pada tahun 1924, Pulau Madura ditaklukkan oleh Sultan Agung, yang menangkap bangsawan Madura, Raden Prasena. Raden Prasena kemudian dijadikan menantu dan penguasa wilayah Madura di bawah Kerajaan Mataram, dengan gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I.
Perubahan Pimpinan dan Kebijakan yang Kontroversial
Amangkurat I memiliki gaya kepemimpinan yang jauh berbeda dengan ayahnya. Sultan Agung selalu bersikap anti-Belanda, sementara Amangkurat I malah memilih mendekati Belanda untuk melindungi kepentingannya. Sikap sewenang-wenang terhadap rakyat juga membuat banyak orang tidak puas dan memicu pemberontakan, bahkan oleh adik lelakinya, Pangeran Alit, pada tahun 1648.
Cakraningrat I dan ayahnya, Demang Melayakusuma, diperintahkan untuk menghadapi pemberontakan Pangeran Alit, tetapi mereka tewas terbunuh. Raden Undagan atau Cakraningrat II, adik Melayakusuma, kemudian memimpin Madura.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Adipati Anom atau Raden Mas Rahmat, anak Amangkurat I, juga memberontak setelah mendengar bahwa statusnya sebagai Putra Mahkota Mataram akan dicabut. Pangeran Adipati Anom secara rahasia meminta bantuan dari Raden Kajoran, seorang imam dari Mataram, yang memperkenalkannya pada Trunojoyo, cucu Cakraningrat I.
Pemberontakan Trunojoyo
Pada tahun 1670-an, Raden Trunojoyo memimpin pemberontakan terhadap Amangkurat I dengan dukungan dari berbagai pihak. Kemenangan puncak Trunojoyo terjadi pertengahan tahun 1677, saat ia berhasil menduduki ibu kota Mataram di Plered. Keberhasilan ini memaksa Amangkurat I yang sedang sakit melarikan diri ke arah Cirebon untuk meminta bantuan VOC. Dalam pelariannya, Amangkurat I meninggal dan Pangeran Adipati Anom mengambil alih kekuasaan dengan gelar Amangkurat II.
Namun, setelah kemenangan di Plered, Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Trunojoyo malah terlibat konflik. Amangkurat II memilih untuk mendekati VOC dan meminta bantuan untuk mengakhiri perang Trunojoyo. Akhirnya, pada tahun 1677, Amangkurat II dan VOC menandatangani Perjanjian Jepara.
Perjanjian Jepara: Harga yang Harus Dibayar Mataram
Dalam perjanjian ini, VOC diwakili oleh Cornelis Janzoon Speelman, utusan khusus Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Isi perjanjian tersebut merugikan Mataram secara signifikan:
- Amangkurat II harus membayar jumlah yang tinggi kepada VOC.
- Sebagian wilayah Mataram diserahkan kepada VOC.
- Daerah di pantai utara Jawa akan diserahkan kepada VOC jika Trunojoyo berhasil dikalahkan.
Meskipun syarat-syarat tersebut sangat merugikan Mataram, Amangkurat II terpaksa menyetujuinya. Akhirnya, Trunojoyo berhasil dikalahkan, tetapi Mataram harus merelakan sebagian wilayahnya kepada VOC.
Demikianlah, Pemberontakan Trunojoyo dan Perjanjian Jepara menjadi babak kelam dalam sejarah Mataram Islam, menandai perubahan dramatis dalam hubungan politik dan kekuatan di Nusantara pada masa itu. @redaksi