Jalan Malioboro, didirikan bersamaan dengan Kraton Yogyakarta, memiliki sejarah panjang sebagai jalan kerajaan dan pusat perbelanjaan. Nama “Malioboro” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga, dimungkinkan terkait dengan tradisi perayaan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
KataKabar Online: Histori – Jalan Malioboro, yang kini menjadi pusat perbelanjaan tersibuk di Yogyakarta, memiliki kisah sejarah yang panjang dan penuh makna filosofis. Jalan ini didirikan seiring dengan pendirian Kraton pada tahun 1755, tempat yang menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dalam bahasa Sansekerta, kata “Malioboro” bermakna karangan bunga. Kemungkinan, hal ini terkait dengan tradisi masa lalu, di mana saat Kraton mengadakan acara besar, Jalan Malioboro dipenuhi dengan bunga sebagai wujud perayaan.
Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa nama Malioboro berasal dari kata Marlborough, gelar Jenderal John Churchill dari Inggris, namun bukti sejarah menunjukkan bahwa jalan ini sudah ada sejak berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejarawan terkemuka, Peter Carey bahkan berpendapat bahwa Malioboro telah digunakan untuk tujuan seremonial sebelum pemerintahan Inggris hadir di Jawa.
Konon, Malioboro diartikan sebagai perjalanan menjadi wali (mali) dan ‘oboro’ yang berarti mengembara. Kawasan Malioboro, yang terdiri dari dua nama jalan utama, Margo Mulyo dan Margo Utomo, merupakan bagian dari konsep Sangkan Paraning Dumadi. Konsep ini menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga kembali kepada Sang Pencipta, dengan simpul utama seperti Panggung Krapyak – Kraton Yogyakarta – Tugu Jogja.
Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan sangkaning dumadi, atau perjalanan manusia sejak lahir, dewasa, hingga memiliki anak atau keluarga. Sementara, Tugu menuju kraton yang melalui Malioboro, melambangkan perjalanan manusia menuju akhir hayatnya. Konsep ini diperkenalkan oleh Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I), sejak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta.
Pada awalnya, Malioboro berfungsi sebagai rajamarga atau jalan kerajaan untuk kegiatan seremonial dan penyambutan tamu negara. Di sekitarnya terdapat Kepatihan sebagai pusat pemerintahan, dan Pasar Gede sebagai pusat perekonomian. Pasar Gede, awalnya tanah lapang, berkembang pesat dan dijuluki sebagai pasar terindah di Jawa.
Pada tahun 1870-an, dengan berkembangnya sentra ekonomi di Yogyakarta dan implementasi Undang-undang Agraria, terjadi perubahan signifikan. Politik kolonial liberal atau Politik Pintu Terbuka diterapkan, memungkinkan masuknya modal asing dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Stasiun, bank, pusat perdagangan, dan sekolah mulai dibangun, sementara industri, seperti industri gula, mengalami perkembangan pesat.
Awal abad ke-20, dengan peningkatan jumlah pendatang di Yogyakarta, menjadikan Malioboro sebagai jalan pertokoan paling sibuk. Transformasi dari jalanan sepi dengan pepohonan menjadi pusat perbelanjaan menciptakan kehidupan baru bagi Malioboro.
Kini, pemerintah setempat memiliki rencana untuk menata kembali wilayah Malioboro. Bukan hanya memindahkan pedagang kaki lima (PKL), tetapi juga memperhatikan kebutuhan mereka untuk menjalankan usaha dengan nyaman dan aman. Program jaminan kepastian berjualan, formalisasi status informal, pembinaan, dan promosi menjadi fokus dalam rencana penataan ulang tersebut. Diharapkan, Malioboro akan tetap menjadi saksi bisu dari kisah dan sejarah yang dapat memantik pemikiran setiap orang yang melalui jalannya, merenungi kehidupan yang telah dilaluinya. @redaksi