Meskipun masa perang telah berlalu, Tarian Perang tetap memainkan peran penting dalam melestarikan warisan budaya, mengajarkan nilai-nilai kepahlawanan dan kegagahan kepada generasi mendatang.
KataKabar Online: Budaya – Pandangan tegas dari seorang lelaki dengan garis wajah yang memancarkan wibawa, tatapannya yang penuh keberanian dan waspada, melambangkan kehadiran seorang Kepala Suku dan Panglima Perang. Di sekelilingnya, puluhan bahkan ratusan pria berkumpul dengan rapi, bersenjata tombak, pedang, dan berbagai perlengkapan perang lainnya. Mereka adalah pasukan perang yang siap menjalankan komando dari sang Kepala Suku.
Masa lampau Nusantara mencatat sejarah perang antar suku yang sering kali terjadi. Meskipun budaya perang tersebut telah lama ditinggalkan, tradisi tarian perang di beberapa suku Nusantara tetap eksis sebagai warisan untuk menjaga dan memelihara jiwa kepahlawanan dan kegagahan.
Tari Perang Nias – Fatele
Salah satu contoh tarian perang yang masih dilestarikan adalah Tari Perang Nias, atau yang dikenal dengan sebutan Fatele. Tarian ini dapat ditemukan di Bawomataluo, menjadi salah satu pusat seni budaya Nias. Fatele dimulai dengan hentakan kaki yang bersamaan dan kompak, sebagai simbol persatuan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Nias. Para penari, mengenakan pakaian hitam, kuning, dan merah, melengkapi penampilan dengan mahkota di kepala. Seperti prajurit perang, mereka membawa tameng, pedang, dan tombak sebagai alat pertahanan dari serangan musuh.
Tari Cakalele
Tarian Cakalele, yang berasal dari Maluku, menjadi perwujudan kegagahan dan semangat perang tradisional. Para penari Cakalele mengenakan pakaian perang berdominasi warna merah dan kuning tua. Sambil menari, mereka memainkan parang (pedang) dan salawaku (tameng) mengikuti irama genderang musik pengiring. Tarian ini umumnya dipertunjukkan saat menyambut tamu atau dalam perayaan adat.
Tari Caci dari Flores
Dari Nusa Tenggara Timur, khususnya Flores, hadir Tari Caci yang memiliki makna uji satu lawan satu. Dipentaskan saat upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, tarian ini melibatkan dua penari laki-laki bertelanjang dada, mengenakan celana panjang putih dan sarung songket khas Manggarai. Mereka saling bertarung dengan alat cambuk dan perisai, menciptakan pertunjukan yang sarat makna dan kegagahan.
Perang sebagai suatu realitas telah menjadi bagian masa lalu, dan kini adalah era damai. Namun, tradisi Tarian Perang tetap berperan penting dalam memelihara warisan budaya. Melalui tarian ini, kita dan generasi mendatang dapat mengenali dan menghargai kepahlawanan, keberanian, dan kegagahan para leluhur Nusantara. Mari kita lestarikan tradisi ini sebagai bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia.