Dalam pergowokan, gowok bukan hanya guru seksual, tetapi juga pengajar tentang kehidupan berumah tangga dan norma-norma sosial yang berlaku.
KataKabar Online: Budaya – Tradisi “gowok” yang muncul di awal abad ke-20 di Jawa, terutama di wilayah Banyumas, menjadi fokus dalam tiga novel menarik, yaitu “Gowok” (1936) karya Liem Khing Hoo, “Ronggeng Dukuh Paruk” (1982) karya Ahmad Tohari, dan “Nyai Gowok” (2014) karya Budi Sardjono. Meskipun cerita-cerita ini terkadang dianggap tabu, mereka memberikan gambaran nyata tentang budaya yang tidak lazim di masyarakat Jawa modern.
Asal Usul Tradisi Gowok
Tidak diketahui secara pasti kapan tradisi gowok mulai membudaya, namun perkiraan mengarah pada kepopulerannya di wilayah Banyumas. Dalam jurnal berjudul “Gowokan, Persiapan Pernikahan Laki-Laki Banyumas” yang ditulis oleh Dyah Siti Septiningsih dan diterbitkan pada 2010, dia menyatakan bahwa gowok adalah profesi perempuan, biasanya ronggeng berusia 23-30 tahun, yang memberikan pemahaman tentang hubungan seks bagi laki-laki (remaja) yang akan menikah.
Gaya Hidup Tradisional
Menurut Dyah, ada interaksi antara gowok dan perjaka yang menjadi “muridnya,” yang disebut sebagai gowokan. Tradisi ini berakar kuat dalam masyarakat Banyumas tradisional. Laki-laki yang hendak menikah dianggap sebagai “guru laki” yang harus memiliki kemampuan mumpuni sebagai kepala rumah tangga.
“Suami adalah sumber kekuatan bagi keluarga, sehingga sebelum menikah harus mendapatkan ilmu terutama tentang hubungan seks terlebih dulu yang hal itu tidak mungkin dilakukan oleh orangtuanya,” ungkap Dyah dalam jurnalnya.
Tahap Pergowokan
Sebagaimana diungkapkan dalam novel-novel tentang gowok, langkah-langkah sebelum berlangsungnya pergowokan cukup terperinci. Setelah lamaran diterima dan tanggal pernikahan ditentukan, kedua keluarga calon pengantin menentukan gowok mana yang akan dipilih.
Gowok dipilih sebagai guru untuk memberikan pendidikan berumah tangga dan hubungan seksual kepada calon pengantin laki-laki. Dia mengenalkan seluk-beluk berumah tangga dan aspek-aspek pribadi tentang tubuh wanita.
Setelah persetujuan diberikan, keluarga menghubungi gowok yang dipilih dan melakukan transaksi. Gowok menerima mahar yang disertai dengan sejumlah hadiah sesuai kesepakatan. Pasca kesepakatan, calon pengantin laki-laki diantarkan ke rumah pergowokan untuk belajar tentang kehidupan berumah tangga.
Proses Pendidikan dan Pengalaman Pasca Kesepakatan
Selama proses pergowokan, calon pengantin laki-laki dan gowok tinggal berdua dengan dapur yang terpisah. Hal ini dilakukan agar mereka dapat melakukan aktivitas seperti pasangan suami istri yang membutuhkan dapur.
Tugas inti seorang gowok adalah mempersiapkan calon pengantin laki-laki untuk malam pengantin baru agar tidak mengalami malu. Edukasi seksual menjadi tradisi yang tidak dapat diabaikan dalam pergowokan, suatu pelajaran yang jarang ditemui di sekolah atau dari orang tua.
Meskipun terdapat kontroversi seputar tradisi ini, beberapa roman bahkan menyebutkan calon pengantin laki-laki yang tergoda dan jatuh hati kepada gowoknya, menyebabkan aib bagi keluarganya.
Kontroversi dan Perubahan
Orang Belanda pada masa itu menganggap gowok sebagai tradisi yang merendahkan, namun tetap dipertahankan oleh kaum priyayi. Namun, dengan menguatnya budaya dan ajaran Islam di Banyumas, tradisi ini perlahan-lahan meluntur dan hilang ditelan zaman. Meskipun kontroversial, tradisi ini meninggalkan jejak sejarah yang membingungkan bagi masyarakat Jawa modern.
Tradisi gowok, seperti yang digambarkan dalam tiga novel yang menarik ini, memberikan gambaran mendalam tentang budaya yang eksotis namun kontroversial di Jawa pada awal abad ke-20. Meskipun kini telah meredup, penulisan novel-novel ini membawa kita ke masa lalu di mana tradisi ini masih eksis. Sebagai bagian dari warisan budaya, cerita-cerita ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang peran dan perubahan dalam masyarakat Jawa. Meski kadang dianggap tabu, tradisi gowok dan kisah-kisahnya tetap hidup dalam sejarah dan sastra Indonesia. @redaksi