Desa Loram Kulon di Kabupaten Kudus menjadi saksi bisu sejarah panjang penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Dengan keberadaan Masjid At Taqwa dan gapura kuno yang megah, Loram Kulon tidak hanya mempertahankan warisan sejarahnya, tetapi juga merawat dengan penuh kebanggaan tradisi-tradisi bersejarah yang menjadi inti kehidupan masyarakatnya, salah satunya adalah tradisi Nganten Mubeng Gapura.
KataKabar Online: Budaya – Desa Loram Kulon, yang terletak di Kabupaten Kudus, bukan hanya sekadar nama desa biasa. Desa ini telah terpatri dalam lembaran sejarah sebagai pusat penyebaran agama Islam di wilayah tersebut. Dengan keberadaan masjid dan gapura bersejarah, Loram Kulon menjadi saksi bisu perkembangan agama Islam di pulau Jawa.
Masjid At Taqwa dan Gapura Kuno
Masjid At Taqwa, yang sering disebut juga sebagai masjid Wali, berdiri megah di dukuh Kauman, Desa Loram Kulon. Di depan halaman masjid, terdapat dua gapura kokoh yang menghiasi area tersebut. Gapura ini, dengan arsitektur kuno, memberikan nuansa sejarah yang tak jauh berbeda dengan Masjid Menara Kudus.
Arsitektur bangunan bersejarah di Kudus seringkali menyerupai Pura, tempat ibadah umat Hindu. Ini tidak terlepas dari akulturasi pada masa penyebaran agama Islam oleh para wali sanga di pulau Jawa. Seiring waktu, bentuk bangunan-bangunan ini mencerminkan akulturasi tersebut, menggambarkan sejarah panjang dan dinamis.
Kedudukan Masjid Wali dan Gapura di Dukuh Kauman
Dari segi agama, masyarakat dukuh Kauman dikenal sebagai masyarakat yang sangat religius. Tokoh-tokoh agama kebanyakan berasal dari daerah ini, dan tradisi serta nilai-nilai leluhur masih dijunjung tinggi. Keislaman masyarakat Loram Kulon tidak terlepas dari peran ulama pada masanya. Sultan Hadlirin, atau Tji Wie Gwan, memainkan peran penting dalam mengislamkan masyarakat Loram, dan masjid dibangun sebagai pusat keagamaan.
Meskipun Loram Kulon menjadi bagian dari kota Kudus dan masyarakatnya aktif dalam profesi modern seperti pengajar dan dokter, nilai-nilai dan tradisi masyarakat tradisional tetap dijaga dengan cermat.
Tradisi dan Peninggalan Leluhur yang Dilestarikan
Desa Loram Kulon mempertahankan sejumlah tradisi peninggalan leluhur yang senantiasa dikembangkan. Tradisi ampyang maulid, sedekah nasi kepel, dan nganten mubeng gapura masih hidup dan berkembang di desa ini.
- Ampyang Maulid: Merupakan kirab budaya yang dilakukan untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Dilaksanakan satu kali dalam setahun, melibatkan seluruh masyarakat desa.
- Sedekah Nasi Kepel: Setiap hari, warga mengirim nasi kepel ke Masjid At Taqwa sebagai bentuk sedekah, sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak zaman Sultan Hadlirin.
- Nganten Mubeng Gapura: Tradisi ini dilakukan sebagai sarana memohon berkah untuk pernikahan. Setelah ijab qabul, pasangan pengantin mengitari gapura sebanyak satu kali putaran.
Sejarah Masjid Wali dan Peran Sultan Hadlirin
Masjid Jami’ At Taqwa, didirikan oleh Tji Wie Gwan atau Sultan Hadlirin, seorang tokoh yang berasal dari Champa. Pada tahun 1696-1697, masjid ini dibangun pada masa peralihan Hindu-Budha ke Islam. Sultan Hadlirin, murid Sunan Kudus, dipercayakan untuk menyebarkan agama Islam di Kudus bagian selatan.
Untuk menarik minat masyarakat Loram, Tji Wie Gwan membangun masjid dengan gapura menyerupai gapura Hindu. Warga yang penasaran akhirnya tertarik dan banyak yang memeluk agama Islam.
Sultan Hadlirin juga aktif mengisi acara di masjid dengan ajaran-ajaran agama Islam. Masyarakat Loram secara aktif mengikuti kajian-kajian yang diadakan olehnya. Tradisi nganten mubeng gapura bermula dari keinginan Sultan Hadlirin agar berkah dapat dinikmati oleh semua warga, meskipun tidak semua dapat bertemu dengannya.
Tradisi nganten mubeng gapura ini digunakan sebagai sarana untuk memohon doa agar pernikahan memperoleh keberkahan. Tradisi ini dilakukan masyarakat Loram ketika akan melaksanakan upacara pernikahan. Setelah melaksanakan ijab qabul, kedua mempelai diwajibkan untuk mengitari gapura sebanyak satu kali putaran. Hal ini diyakini mampu memberikan berkah luar biasa bagi pengantin baru. Sebaliknya, jika tradisi ini tidak dilaksanakan, maka dipercaya akan mengalami kesialan-kesialan dalam rumah tangganya.
Bagi warga setempat yang menikah dengan warga satu desa ataupun beda desa wajib melaksanakan tradisi tersebut, dalam prosesinya pasangan pengantin berada di barisan paling depan. Suami menggandeng istrinya memasuki pintu gapura sisi selatan lalu keluar melalui pintu sisi utara.
Tradisi nganten mubeng gapura tidak hanya menjadi warisan sejarah tetapi juga mencerminkan norma yang masih dijunjung tinggi hingga saat ini. Dalam perjalanan waktu, tradisi ini tetap dilestarikan sebagai bentuk penghargaan terhadap leluhur dan keyakinan akan keberkahan yang dapat diperoleh melalui tradisi tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, penting untuk terus melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari identitas dan sejarah yang kaya, serta sebagai cerminan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat Loram Kulon. @redaksi