Desa Rahtawu di Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, memiliki sebuah mitos larangan menggelar pertunjukan wayang. Konon, mereka yang melanggar larangan itu bakal tertimpa malapetaka. Petilasan-petilasan dan kisah-kisah mistis di desa tersebut, termasuk kepercayaan akan keberadaan tokoh sakti Begawan Palasara, menciptakan aura mistis tersendiri.
KataKabar Online: Misteri – Desa Rahtawu yang terletak di dataran tinggi, di lereng Gunung Muria, menyimpan lebih dari 100 petilasan. Namun, menurut mantan Kepala Desa Rahtawu, Rasmadi Didik Ariyadi, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 68 yang tercatat, sementara sisanya masih dalam proses kajian.
Konon, petilasan-petilasan tersebut, dulu digunakan sebagai tempat pertapaan para leluhur tokoh pewayangan Pandawa. Petilasan-petilasan terkenal seperti Abiyoso, Eyang Sakri, Lokajaya, Palasara, dan Pandu menjadi saksi bisu kisah-kisah mistis dan perjalanan spiritual di desa ini.
“Kita sudah di atas 60 petilasan, cuma belum kita unggah. Sedang kita dalami narasinya seperti apa, supaya tidak keluar dari pakem yang ada. Ada petilasan Eyang Sakri, petilasan Eyang Abiyoso, Eyang Pandu Dewanata, Eyang Semar cukup terkenal bagi kalangan spiritualis,” ujar Didik.
Begawan Palasara
Dilansir dari laman Museum Kemdikbud, terdapat tokoh sakti bernama Begawan Palasara, ksatria brahmana sakti dari pertapaan Sata Arga di Gunung Rahtawu. Keberadaannya menyebabkan desa ini ramai dikunjungi pada malam 1 Muharram atau 1 Suro, di mana para peziarah melakukan pertapaan.
Mitos Larangan Pementasan Wayang
Namun, desa ini juga terkenal dengan larangan menggelar pertunjukan wayang. Pelanggaran terhadap larangan ini dipercaya dapat membawa malapetaka. Menurut Surahman Kertawidjaya, tokoh spiritual, larangan ini sebagian besar karena versi cerita pewayangan yang dibawa oleh dalang dari luar desa.
“Ibaratnya seperti silsilah keluarga, kalau tidak runtut atau urut kan pihak keluarga ada yang nggak terima,” ungkap Surahman.
Kisah Mistis Saat Melanggar Pantangan
Berbagai cerita mistis beredar saat warga mencoba mengabaikan larangan tersebut. Seorang warga yang menanggap wayang dalam hajat pernikahan dikabarkan berujung pada badai dan meninggalnya dalang setelah acara. Rasmadi Didik Aryadi, bahkan mengungkapkan peristiwa pada 1980, di mana seorang anak SD yang menjalani hajat khitanan dan dalang yang menceritakan kisah wayang meninggal dunia di malam acara. Keesokan harinya, terjadi longsor dan banjir.
Meski cerita-cerita ini terkesan tidak masuk akal, namun masyarakat tetap menghormati kepercayaan tersebut sebagai bagian dari hukum adat yang tak tertulis di Desa Rahtawu. @redaksi