Kesunanan Surakarta Hadiningrat, kerajaan di Pulau Jawa yang muncul pada tahun 1745 sebagai penerus Kesultanan Mataram. Dengan pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala, Kesunanan Surakarta Hadiningrat menjadi simbol perubahan dan keteguhan dalam menghadapi tantangan sejarah, menciptakan identitas baru yang terus berkembang hingga zaman modern.
KataKabar Online: Histori – Kesunanan Surakarta Hadiningrat berdiri pada tahun 1745, di Pulau Jawa bagian tengah. Kesunanan Surakarta muncul sebagai sebuah entitas yang akan menjadi penanda sejarah dan keberlanjutan dari Kesultanan Mataram yang pernah berdiri megah di Kartasura.
Sebuah perubahan besar terjadi pada tahun 1755, ketika Perjanjian Giyanti mengukuhkan pembagian wilayah Mataram menjadi dua pemerintahan yang otonom, Surakarta dan Yogyakarta.
Pemisahan dan Pemberian Identitas Baru
Sejak tahun 1745 hingga peristiwa Palihan Nagari pada tahun 1755, Kesunanan Surakarta, dengan ibu kota di Surakarta, adalah penerus langsung dari Kesultanan Mataram. Namun, perjanjian historis Giyanti pada 13 Februari 1755 menjadi penanda penting. Kesultanan Mataram secara resmi terbagi menjadi dua, menciptakan Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kota Surakarta tetap sebagai pusat pemerintahan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta dengan Susuhunan Pakubuwana III sebagai pemimpinnya.
Namun, sebagian wilayah Kesunanan Surakarta jatuh di bawah pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta baru didirikan pada tahun 1755, mengikuti pola tata kota yang serupa dengan Surakarta yang lebih dahulu berdiri. Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 semakin mempersempit wilayah Kesunanan, dengan sebagian daerah diserahkan kepada Adipati Mangkunegara I. Dengan demikian, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta lahir sebagai penerus sah Kesultanan Mataram.
Latar Belakang: Dari Plered ke Kartasura
Setelah pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677 yang menghancurkan Kesultanan Mataram di Plered, Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibu kota ke Kartasura. Namun, Kartasura juga mengalami serbuan pada tahun 1742 oleh pemberontak Tionghoa dan pendukung anti-VOC. Keadaan Kartasura yang parah memaksa Pakubuwana II, yang saat itu memerintah, untuk meninggalkan kota dan membangun istana baru di Desa Sala.
Pemindahan Keraton ke Sala
Pemindahan kraton dari Kartasura ke Sala tidak hanya dipicu oleh kehancuran Kartasura, tetapi juga oleh pertimbangan strategis dan spiritual. Desa Sala, yang kemudian diubah namanya menjadi Surakarta Hadiningrat, dipilih karena dianggap memiliki karakteristik yang mendukung kemakmuran. Keberanian, tempuran sungai, dan lokasi strategis dekat dengan Bengawan Solo menjadi faktor utama dalam keputusan ini.
Pakubuwana II, dengan bantuan Tumenggung Hanggawangsa dan J.A.B. van Hohendorff, memulai pembangunan kraton di Surakarta Hadiningrat. Pada 17 Sura tahun Je 1670 Jawa Windu Sancaya atau 20 Februari 1745, upacara perpindahan kraton resmi dilakukan. Desa Sala pun berubah menjadi Surakarta Hadiningrat, menciptakan identitas baru yang bersih dari bayang-bayang kejatuhan Kartasura.
Perkembangan Setelah Pemindahan
Masa-masa awal Kesunanan Surakarta tidak lepas dari pemberontakan Pangeran Mangkubumi pada tahun 1746, yang bergabung dengan Raden Mas Said. Keadaan semakin rumit dengan wafatnya Pakubuwana II pada tahun 1749 dan penyerahan kedaulatan kepada VOC. VOC, dan kemudian pemerintah Hindia Belanda, memiliki kendali atas penobatan raja-raja Mataram. Masa ini berlangsung hingga Pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 menjadi tonggak penting dalam sejarah Kesunanan Surakarta. Pembagian wilayah Mataram mengukuhkan Surakarta dan Yogyakarta sebagai penerus sah Kesultanan Mataram. Meskipun demikian, Kesunanan Surakarta sebagai pendahulu dari kelanjutan Mataram, setiap susuhunannya dianggap sebagai penerus tertua dan keturunan langsung raja-raja Mataram.
Kekuatan dalam Perubahan
Kesunanan Surakarta Hadiningrat adalah bukti kekuatan dalam perubahan. Dari kehancuran Kartasura hingga pembangunan Surakarta Hadiningrat di Desa Sala, cerita ini menggambarkan keteguhan dan keberanian dalam menghadapi tantangan sejarah. Identitas baru yang dihasilkan dari pemindahan keraton menjadi simbol makna yang mendalam, menciptakan fondasi bagi kesinambungan sejarah dan keberlanjutan kekuasaan.
Sebagai pewaris Kesultanan Mataram, Kesunanan Surakarta tetap hidup dalam ingatan sejarah sebagai penjaga warisan leluhur. Meskipun perjalanan sejarahnya penuh liku, keberanian para pemimpinnya dan pemilihan strategis lokasi kraton menciptakan sebuah entitas yang bertahan dan berkembang hingga zaman modern. Kesunanan Surakarta Hadiningrat adalah bukti bahwa keberanian untuk berubah dapat membawa kejayaan, bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun. @redaksi