Dr. Tjipto Mangunkusumo, seorang lulusan STOVIA, muncul sebagai pejuang radikal yang menentang Pemerintah Kolonial Belanda dan elit feodal di Jawa. Kritiknya terhadap raja-raja Jawa dan usulannya untuk mempensiunkan mereka menciptakan ketegangan di kalangan raja dan keluarga bangsawan di Solo
KataKabar Online: Histori – Indonesia, dengan sejarah panjangnya, telah melahirkan berbagai tokoh pahlawan yang berjuang untuk meraih kemerdekaan. Salah satu sosok yang patut diingat adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, seorang pejuang yang dianggap radikal pada masanya. Tjipto tidak hanya melawan Pemerintah Kolonial Belanda, tetapi juga menentang elit pribumi, khususnya penguasa feodal di tanah Jawa.
Latar Belakang dan Pendidikan
Tjipto Mangunkusumo adalah lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), atau lebih dikenal sebagai Sekolah Dokter Jawa. Bersama dengan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Ernest Douwes Dekker, ia membentuk Tiga Serangkai yang terkenal dalam pergerakan nasional Indonesia.
Kritik Tajam terhadap Elite Boedi Oetomo
Perjalanan perlawanan Tjipto penuh lika-liku, terutama dalam memberikan kritik tajam kepada berbagai pihak, termasuk elite Boedi Oetomo yang dianggapnya tidak progresif. Kritiknya tak hanya ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda, tetapi juga kepada penguasa feodal di Jawa.
Menurut Edi Suwiknyo dalam artikel “Cerita Tjipto Mangunkusumo Minta Raja Solo Dipensiunkan,” Tjipto pernah melakukan kritikan tajam kepada raja-raja Jawa, terutama Sri Susuhunan Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tjipto menginginkan perubahan, termotivasi oleh kondisi kemiskinan rakyat yang kontras dengan gaya hidup foya-foya para raja dan elite istana.
Anti-Feodalisme: Pemikiran dan Kritikan
Takashi Shiraishi dalam bukunya, “Zaman Bergerak,” menggambarkan Tjipto sebagai seorang yang menentang feodalisme. Baginya, raja-raja Jawa dan bangsawan hanyalah penghisap kemakmuran rakyat Jawa. Melihat kondisi sosial yang sulit, Tjipto tidak ragu untuk menyuarakan ketidakpuasannya di hadapan publik.
Dalam bukunya, Shiraishi mencatat bahwa Tjipto mengusulkan agar para raja Jawa, termasuk Pakubuwono dan Mangkunegara, dipensiunkan dan diberi gaji tetap bulanan sebanyak 2.000 gulden. Ini merupakan pemikiran radikal yang mengguncang stabilitas kekuasaan feodal di Jawa pada masa itu.
Gerakan Anti-Raja dan Dua Kubu yang Terbentuk
Gerakan anti-raja yang dipelopori oleh Tjipto menimbulkan ketegangan di kalangan raja dan keluarga bangsawan di Solo. Shiraishi mengungkap bahwa muncul dua kubu yang berbeda pandangan, satu pro-Tjipto dan satu lagi pro-penguasa feodal.
Sarekat Islam, dengan tokoh seperti Haji Samanhudi, dan Boedi Oetomo menjadi pihak yang mendukung kerajaan. Namun, Tjipto mulai mengorganisir rapat-rapat umum dan menggunakan media seperti surat kabar mingguan Panggoegah untuk menyampaikan pandangannya. Bahkan, ia menghadirkan ketoprak sebagai sarana untuk menyampaikan kritiknya secara unik dan menarik.
Menggagas Perubahan melalui Ketoprak
Tjipto Mangunkusumo menggunakan ketoprak, seni pertunjukan tradisional Jawa, sebagai medium untuk menyuarakan kritiknya. Dalam salah satu adegannya, ia mengisahkan kisah Ki Ageng Mangir yang sulit dikalahkan leluhur Mataram, Panembahan Senopati. Melalui cerita ini, Tjipto ingin mengekspos ketidakksatriaan leluhur raja-raja Jawa yang dianggapnya telah menggunakan cara licik dalam mempertahankan kekuasaan.
Perjuangan dan Pengaruh Tjipto Mangunkusumo
Perjuangan Tjipto Mangunkusumo dalam melawan feodalisme dan penguasa kolonial Belanda menggambarkan keberaniannya sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Meskipun dianggap radikal, ia berusaha mengubah paradigma masyarakat terhadap kekuasaan feodal, yang dianggapnya merugikan rakyat.
Warisan pemikiran dan tindakan Tjipto terus membekas dalam sejarah Indonesia. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap elit dan feodalisme menjadi sorotan dalam pergerakan menuju kemerdekaan. Dr. Tjipto Mangunkusumo, dengan segala kontroversinya, layak diingat sebagai salah satu pionir pergerakan nasional Indonesia yang gigih memperjuangkan keadilan sosial dan kemerdekaan. @redaksi