Masyarakat Jawa kaya akan tradisi dan budaya yang unik. Salah satunya adalah Pasemon Praja, yakni sindiran halus berupa kalimat penuh lambang untuk menilai dan mengkritik para raja. Pasemon Praja menjadi bukti kearifan lokal yang memperkaya warisan budaya Jawa dalam menyampaikan kritik tanpa konfrontasi langsung.
KataKabar Online: Budaya – Masyarakat Jawa memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan kritik dan penilaian terhadap orang lain melalui sebuah bentuk seni bahasa yang disebut “Pasemon.” Pasemon merupakan kalimat sindiran halus yang penuh dengan lambang dan simbol, hanya dapat dipahami oleh mereka yang memiliki pemahaman mendalam terhadap budaya Jawa.
Dalam konteks masyarakat Jawa, pasemon tidak hanya ditujukan kepada rakyat biasa, bahkan para raja pun tak luput dari sindiran ini. Salah satu bentuk pasemon yang khusus ditujukan untuk kerajaan dan para raja disebut Pasemon Praja.
Pasemon Praja: Sindiran untuk Para Raja Jawa Pasemon Praja merupakan bentuk sindiran halus yang muncul sebagai respons logis terhadap sifat, sikap, dan perilaku para raja yang dianggap kurang baik. Setidaknya, terdapat 19 pasemon praja yang dikenal dalam masyarakat Jawa. Sindiran ini mencerminkan kecerdasan masyarakat Jawa dalam menyampaikan kritik tanpa harus melibatkan konfrontasi langsung. Beberapa contoh pasemon praja melibatkan beberapa raja terkenal, seperti Jenggala, Kediri, Singasari, Urawan, Pajajaran, Majapahit, Joko Tingkir, dan Mataram.
Contoh Pasemon Praja dan Maknanya:
- Catur Rana Semune Segara Asat artinya empat medan pertempuran layaknya samudera kering: Pasemon ini digunakan untuk menilai kerajaan Jenggala, Kediri, Singasari, dan Urawan. Sindiran muncul karena keempat kerajaan tersebut suka berperang, menghabiskan kekayaan negara.
- Ganda Kentir Semune Liman Pepeka artinya bau yang hanyut seperti gajah yang terlena: Sindiran untuk Raja Pajajaran, Sri Pamekas, yang dianggap kurang waspada sehingga mati terbunuh oleh anaknya sendiri. Sri Pamekas mati terbunuh oleh anaknya sendiri, yaitu Ciung Wanara. Mayat sang raja kemudian dihanyutkan ke sungai.
- Macan Galak Semune Curiga Kethul artinya harimau buas layaknya semata yang tumpul: Pasemon untuk Prabu Brawijaya V, raja terakhir di Kerajaan Majapahit, yang dinilai tidak mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
- Lunga Perang Putung Watange artinya atau berangkat berperang, namun patah busurnya: Gambaran untuk Kasultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, yang giat menaklukkan adipati-adipati yang masih menganut ajaran lama. Namun mereka harus membayar mahal, karena banyak wali atau ahli agama yang gugur dalam pertempuran.
- Alelungan Datan Kongsi Bebasahan Kaselak Kampuhe Bedhah artinya bepergian belum sempat memakai pakaian kebesaran namun terlanjur ikat pinggangnya jebol: Merupakan sindiran untuk Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, pendiri Kasultanan Pajang, yang menggambarkan perjuangannya yang panjang. Saat mencapai puncak, yaitu sebagai sultan, Hadiwijaya, ia sudah tua dan tidak lama kemudian wafat.
- Sura Kalpa Semune Lintang Sinipat, yang berarti pohon besar layaknya bintang kepagian: Pasemon untuk Panembahan Senopati, pendiri dinasti Mataram, yang menggambarkan keberaniannya untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang belum bersedia mengakui kekuasaannya. Namun sebelum seluruh keinginannya tercapai, Panembahan Senopati lebih dulu meninggal.
- Kembang Sempol Semune Lebe Kekethu, yaitu bunga teratai layaknya seorang kaum berkopyah: Mungkin ini bukan sindiran, melainkan lebih pada sebuah pujian untuk Sultan Hanyokrowati dan Sultan Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Kedua raja tersebut dipandang sebagai raja besar yang taat dan sangat tekun menjalankan perintah agama.
- Kalpika Sru Semune Kenaka Putung, yang kurang lebih artinya sama dengan cincin yang kekecilan layaknya kuku yang patah: Selama masa pemerintahannya, Amangkurat I mengisi kekuasaannya dengan banyak tragedi, peperangan dan intrik, baik di dalam maupun di luar keraton. Banyak keluarga dekat, terrmasuk para panglima perang Mataram tewas dibunuh oleh sang raja sendiri dengan tuduhan terlibat pemberontakan.
- Layon Keli Semune Satriya Brangta, atau mayat yang hanyut layaknya satriya berduka: Pasemon ini ditujukan untuk Amangkurat II. Amangkurat II dinobatkan sebagai raja saat sedang berduka. Ketika itu, ayahnya buron, dikejar-kejar musuh hingga akhirnya meninggal di Tegal, jauh dari istananya.
- Gunung Kendheng Semune Kenya Musoni artinya Gunung Kendeng layaknya gadis sedang berhias: Sindiran untuk Pangeran Puger atau Paku Buwono I, yang merebut kekuasaan dari keponakannya Amangkurat III dengan usianya yang tua. Namun di usianya yang tua, Paku Buwono I masih suka mengurusi hal-hal yang sepele.
- Lung Gadhung Semune Rara Nglikasi, Yaitu bunga gadhung layaknya gadis sedang memintal benang: Sindiran untuk Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi, yang suka main perempuan.Amangkurat IV sebenarnya raja yang tangkas, terampil, dan banyak menyelesaikan persoalan. Sayangnya, Raja Mataram yang satu ini gemar bermain perempuan.
- Gunung Kendheng Semune Kenya Musoni: Pasemon untuk Pangeran Puger atau Paku Buwono I saat merebut kekuasaan dari Amangkurat III, yang masih suka mengurusi hal-hal sepele di usia tua.
- Gajah Meta Semune Tengu Lelaken, atau gajah ngamuk layaknya binatang tengu yang sedang kawin: Sindiran untuk PB II, anak Amangkurat IV, yang digambarkan sebagai raja besar, gagah, perkasa, namun bernyali kecil seperti hewan tengu. Jika mendapat serangan lawan, PB II buru-buru meminta bantuan penguasa-penguasa di daerah lain.
- Panji Loro Semune Pajang-Mataram, yang artinya dua pangeran layaknya Kerajaan Pajang dan Mataram: Pasemon yang menggambarkan perjanjian pembagian wilayah antara dua pangeran dari Paku Buwono II setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755. Keduanya kemudian sepakat memecah Kraton Surakarta menjadi dua wilayah. Paku Buwono III tetap di Surakarta, sedang Pangeran Mangkubumi berkuasa di Yogyakarta bergelar Hamengkubuwono I (HB I). Pembagian daerahnya hampir sama dengan daerah yang dulu dikuasai Kerajaan Pajang dan Mataram awal.
- Rara ngangsu semune randha loro nuntuti pijer atetukar artinya Gadis yang mencari air layaknya dua janda yang memburu dan saling bertengkar: Pasemon ini tentang pemberontakan bangsawan Keraton Surakarta, yaitu RM Said dan Pangeran Mangkubumi. Keduanya akhirnya menjadi raja. Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta. Sedangkan RM Said mendirikan dinasti Mangkunegaran dan bergelar Mangkunegoro I, sesuai dengan perjanjian Salatiga antara RM Said dan Kasunanan Surakarta.
- Tan Kober Apepaes Amangun Sinjang, artinya tidak sempat berhias dan merapikan pakaian: Pasemon ini ditujukan pada masa pemerintahan Paku Buwono IV dan Paku Buwono V, hanya diisi peperangan demi peperangan. Oleh karena itu. Kedua raja Surakarta ini tak sempat memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
- Kala Bendu Semune Semarang-Tembayat, atau zaman sengsara layaknya Semarang dan Tembayat: Pasemon ini merupakan penggambaran perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Belanda kewalahan, sampai mendatangkan banyak bala bantuan dari Semarang, untuk menggempur markas pertahanan awal Diponegoro di Klaten, sebelum dipindah ke Magelang. Perjalanan pasukan Belanda itu digambarkan seperti perjalanan Sunan Tembayat dari Semarang ke Tembayat di Klaten.
- Tunjung Putih Semune Pudhak Sinumpet, artinya adalah teratai putih layaknya bunga pandan yang tertutup: Pasemon yang menggambarkan pencitraan kemerdekaan Indonesia dengan teratai putih sebagai pijakan suci dan kepemimpinan Soekarno yang tak terduga.
- Gandrung-gandrung ing Lurung, Andulu Gelung Kekendhon, Keris PParung Tanpa Karya, Edolen Tukokna Uleng-uleng Campur Bawur:Pasemon yang satu ini juga menggambarkan masa kemerdekaan atau era kehidupan baru di Jawa (Indonesia). Orang bisa santai dan bersenang-senang tanpa terganggu peperangan. Tata etika pergaulan pun semakin cair, senjata tajam semakin tak berguna untuk perang, sehingga jika dijual hanya seharga makanan ringan.
- kembang sungsang semune pudhak setegal, artinya, kembang sungsang layaknya ladang bunga pandan: Sindiran miris untuk Paku Buwono XII yang digambarkan sebagai kembang sungsang yang harus menghidupi keluarga besar, meskipun kekuasaannya telah berkurang. Pasemon ini dilontarkan oleh Budayawan Jawa kenamaan, KRHT Kusumotanoyo, yang selain sebagai kerabat, juga penasehat spiritual PB XII.
Pasemon Praja Jawa merupakan bentuk seni bahasa yang memungkinkan masyarakat Jawa menyampaikan kritik dan penilaian secara halus terhadap penguasa tanpa melibatkan konfrontasi langsung.
Setiap pasemon memiliki makna mendalam yang mencerminkan kebijaksanaan dan pemahaman mendalam terhadap sejarah dan karakter para raja Jawa. Sebagai bagian dari warisan budaya, pasemon praja menjadi bukti kearifan lokal dalam menyampaikan pesan kritis dengan elegan. @redaksi