Kadipaten Pakualaman, negara vasal di Pulau Jawa, memulai perjalanan sejarahnya pada tahun 1813. Didirikan oleh Pangeran Notokusumo, setelah adanya konflik antara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah Belanda.
KataKabar Online: Histori – Kadipaten Pakualaman baru saja menggelar Dhaup Ageng atau puncak pernikahan agung antara Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Kusumo Kuntonugroho dengan Laily Annisa Kusumastuti. BPH Kusumo Kuntonugroho adalah putra kedua Adipati Pakualaman, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam X dengan GKBRAA Paku Alam. Sementara itu, Laily Annisa Kusumastuti, putri pertama Tri Wibowo dan almarhumah Wijayatun Handrimastuti. Lalu, bagaimana sejarah berdirinya Kadipaten Pakualaman tersebut?
Kadipaten Pakualaman, atau Praja Pakualaman, merupakan entitas monarki kadipaten otonom di Pulau Jawa bagian tengah, tepatnya di Yogyakarta. Sebagai negara vasal, status dan kekuasaannya diatur oleh perjanjian politik dengan negara induk, terutama selama masa pendudukan Inggris dan kemudian Hindia Belanda.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kadipaten Pakualaman mengalami transformasi signifikan, termasuk perubahan status menjadi daerah istimewa setingkat provinsi pada tahun 1950 setelah menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.
1. Pembentukan Kadipaten Pakualaman:
Kadipaten Pakualaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813 oleh Pangeran Notokusumo, putra Sultan Hamengku Buwono I, yang dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I. Status kerajaan ini sebanding dengan Praja Mangkunagaran di Surakarta.
2. Masa Awal dan Konflik dengan Belanda:
Awal mula Kadipaten Pakualaman terkait dengan konflik antara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan pemerintahan Belanda di bawah Herman Willem Daendels. Konflik ini berdampak besar pada perebutan kekuasaan di Yogyakarta dan akhirnya melibatkan Pangeran Notokusumo.
Versi sejarah mencatat peran Pangeran Notokusumo dalam dua konteks: pertama, sebagai perantara dengan Inggris untuk menyerahkan takhta kepada Adipati Anom; dan kedua, sebagai tokoh yang berkonspirasi melawan Inggris. Konflik ini berujung pada penurunan Sultan HB II dan penobatan Adipati Anom sebagai Sultan Yogyakarta.
3. Konsekuensi Geger Sepehi:
Pasca-konflik, Kasultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi berupa pengurangan wilayah dan penyerahan sebagian kekuasaan kepada Pangeran Notokusumo. Berdasarkan Political Contract 17 Maret 1813, Pangeran Notokusumo menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I dengan hak-hak tertentu, termasuk tanah dan hak takhta yang turun temurun.
4. Perkembangan di Bawah Pemerintahan Paku Alam I:
Paku Alam I memerintah selama sekitar 16 tahun dan merangkap sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV. Pada tahun 1822, gelarnya diubah menjadi Pangeran Adipati, dan pada tahun 1829, Paku Alam I wafat dan digantikan oleh putranya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat.
5. Masa Kemerdekaan dan Bergabung dengan Republik Indonesia:
Pada tahun 1945, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia. Setelah terbitnya Amanat 5 September 1945, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman bergabung dalam Republik Indonesia pada tahun 1950 sebagai daerah istimewa.
6. Wilayah dan Pemerintahan:
Wilayah Kadipaten Pakualaman mencakup Pura Pakualaman, Kabupaten Adikarto, Karang Kemuning, dan beberapa wilayah lainnya. Pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Pakualaman bersama Residen/Gubernur Hindia Belanda untuk Yogyakarta.
7. Perekonomian dan Kebudayaan:
Perekonomian Pakualaman didominasi oleh pertanian dan perdagangan. Selain itu, negeri ini memiliki beberapa pabrik gula di Kabupaten Adikarto. Untuk menunjukkan independensinya, Pakualaman berusaha mengembangkan budaya yang mempunyai ciri yang berbeda dengan Kesultanan. Hal ini dapat dilihat misalnya dari bentuk pakaian tradisional yang dikenakan. Pengembangan budaya ini dimulai sejak Paku Alam II.
Kadipaten Pakualaman juga mengembangkan budaya unik yang mencampurkan gaya Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini tampak dalam beberapa pakaian, tarian, batik dan gamelan. Khususnya pada masa Paku Alam VII, Pengaruh Surakarta mulai dikembangkan, karena Paku Alam VII menikah dengan salah satu anak dari Sri Susuhunan Pakubuwana X, raja Surakarta saat itu, yakni GBRAA Retno Puwoso.
8. Pertahanan dan Keamanan:
Pertahanan diawasi oleh Hindia Belanda, dan Kadipaten ini hanya diperbolehkan memiliki pasukan kecil yang disebut Legiun Pakualaman. Pasukan ini digunakan untuk memelihara keamanan dan upacara kerajaan. Namun, pasukan legiun tersebut dibubarkan pada tahun 1892, di masa kepemimpinan Paku Alam V. Saat ini, Kadipaten Pakualaman menyisakan dua bregada prajurit untuk upacara-upacara dan pemeliharaan keamanan.
Perjalanan sejarah Kadipaten Pakualaman mencerminkan dinamika politik dan perubahan status yang signifikan. Dari awal pendiriannya hingga bergabung dengan Republik Indonesia, negeri kecil ini mengalami transformasi yang mencakup konflik internal, penurunan status, dan akhirnya integrasi sebagai daerah istimewa. Warisan budaya dan perekonomian yang dihasilkan oleh Kadipaten Pakualaman masih menjadi bagian integral dari sejarah Yogyakarta. @redaksi