Kehidupan pegawai Kongsi Dagang Belanda (VOC) di Batavia pada abad ke-17 dipenuhi dengan dinamika, mulai dari transformasi nasib hingga kecenderungan foya-foya dan kericuhan. Perekrutan Kompeni memunculkan Orang Kaya Baru (OKB), yang mendorong gaya hidup mewah dan kemerosotan moral di tengah ketidakstabilan sosial.
KataKabar Online: Histori – Pada abad ke-17, Batavia, yang kini dikenal sebagai Jakarta, menjadi pusat kegiatan perdagangan bagi Kongsi Dagang Belanda atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Hidup para pegawai VOC di Batavia mencerminkan dinamika yang penuh warna, mulai dari cara perekrutan hingga gaya hidup yang penuh foya-foya.
Kali ini, kita akan menjelajahi laku hidup pegawai Kongsi Dagang Belanda di Batavia yang dipenuhi dengan misi uang, kekuasaan, dan kegembiraan, serta bagaimana hal ini berdampak pada acara pemakaman pada masa itu yang kerap menjadi sorotan.
Perekrutan Pegawai: Dari Orang Kaya Hingga Kalangan Bawah
Cara perekrutan Kompeni (VOC) tidak mengenal batasan kelas sosial di Belanda pada zamannya. Meskipun banyak personel Kompeni berasal dari kalangan kaya, mayoritas yang mendaftar justru berasal dari kalangan bawah. Para pengangguran, yatim piatu, dan mereka tanpa pendidikan tinggi memiliki kesempatan untuk bergabung dengan Kompeni, dengan satu-satunya syarat bahwa mereka bukan Katolik.
Meskipun peluang tersebut terbuka lebar, tantangan bagi para calon pegawai adalah kesiapan mereka ditempatkan di wilayah yang jauh dari kampung halaman mereka, terutama di Nusantara. Namun, bagi yang beruntung, bekerja di pusat kekuasaan Kompeni di Batavia menjadi suatu keberuntungan.
Transformasi Nasib dan Kemunculan Orang Kaya Baru (OKB)
Nasib baik kemudian menyertai pegawai Kompeni di Batavia. Mereka yang sebelumnya tidak memiliki status sosial yang tinggi, berubah menjadi warga kelas satu di Batavia. Akses terbuka untuk mendapatkan jabatan dan uang, terutama melalui jalur korupsi, menjadi kenyataan sehari-hari.
Namun, transformasi ini tidak selalu membawa dampak positif. Mental Orang Kaya Baru (OKB) muncul, di mana orang Belanda yang suka foya-foya dan pamer kekayaan membangun rumah besar, membeli kereta kuda, perhiasan, dan gemar berpesta. Fenomena ini membuat moral orang Belanda merosot, dengan segala macam hasrat bersenang-senang yang dilampiaskan, bahkan hingga pertengkaran dan ngebut di jalanan karena mabuk.
Sebagian besar personel VOC tidak memiliki kesempatan seperti yang dinikmati oleh Gubernur Jenderal VOC, Speelman, namun mereka berusaha mencari peluang untuk menandingi gaya hidupnya. Hal ini sering berujung pada inefisiensi, kebejatan moral, korupsi, serta tindakan kekasaran dan kekejaman terhadap orang-orang bumiputra, memperbesar perasaan benci terhadap VOC.
Sebagai contoh, pada tahun 1682, komandan garnisun VOC di Kartasura melaporkan bahwa serdadu-serdadu VOC melakukan tindakan kekerasan terhadap wanita Jawa dan mengisap candu serta minum tuak beras ketan yang tidak sehat, seperti yang diungkapkan oleh M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008).
Foya-foya dan Kericuhan dalam Upacara Pemakaman
Perilaku foya-foya tidak hanya menyelimuti kehidupan sehari-hari orang Belanda di Batavia, tetapi juga mencuat dalam upacara pemakaman. Upacara pemakaman, yang seharusnya menjadi acara berduka, malah diisi dengan kegembiraan dan kemewahan, mirip dengan acara pernikahan.
Hal ini terjadi karena semakin banyaknya orang Belanda yang datang dari tanah airnya. Makna kematian yang seharusnya dipenuhi dengan kesedihan, berubah menjadi pesta yang menyenangkan, dipaksakan harus menyenangkan dan mewah demi menjaga gengsi.
Upacara penguburan pun kerap diakhiri dengan jamuan makan di pemakaman. Jamuan makan tersebut tidak biasa, karena banyak yang menyediakan minuman keras. Orang Belanda pun tidak segan-segan minum sampai mabuk. Akibatnya, kericuhan menjadi hal yang tak terhindarkan.
Kericuhan dalam Kehidupan Sehari-hari
Perilaku foya-foya dan minum-minuman keras dalam upacara pemakaman membawa dampak pada kehidupan sehari-hari. Kericuhan yang memalukan terus berlanjut, bahkan tiap kali ada pemakaman. Perkelahian karena pengaruh minuman keras membuat orang Belanda tidak lagi memandang urusan moral sebagai sesuatu yang penting.
Dewan Gereja berusaha mengendalikan situasi dengan membuat aturan agar kericuhan tidak terjadi di pemakaman. Namun, hasilnya seringkali tidak memuaskan, dan larangan-larangan seringkali diabaikan. Meskipun Dewan Gereja menetapkan denda untuk pelanggaran aturan, orang Belanda bersikap seolah larangan tersebut hanya seperti angin lalu.
Catatan arsip tahun 1658 mencatat bahwa akibat konsumsi minuman keras yang berlebihan pada pesta penguburan, sering terjadi ulah memalukan dan pertikaian di sekitar makam. Oleh karena itu, dikeluarkan larangan untuk mengkonsumsi minuman keras selama upacara penguburan. Namun, larangan tersebut kehilangan gregetnya, dan maklumat dinding yang menetapkan denda 25 ringgit untuk pelanggaran aturan itu harus diumumkan berulang kali pada 1671 dan 1714, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
Kompleksitas Kehidupan Pegawai VOC
Hidup pegawai Kongsi Dagang Belanda di Batavia pada masa VOC mencerminkan dinamika yang kaya, namun juga penuh kontroversi. Transformasi nasib dari yang sebelumnya tidak dianggap menjadi warga kelas satu di Batavia, membawa dampak pada kehidupan sehari-hari, terutama dalam kecenderungan foya-foya dan perayaan kematian yang kurang pantas.
Kondisi ini memunculkan fenomena Orang Kaya Baru (OKB) yang mencerminkan kegilaan orang Belanda dalam mengejar kekayaan dan kepuasan pribadi. Gaya hidup penuh excess ini memicu kemerosotan moral, tindakan kekerasan, dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap penduduk asli, yang semakin memperbesar perasaan benci terhadap VOC.
Upacara pemakaman yang semestinya diisi dengan kesedihan dan penghormatan, malah berubah menjadi pesta foya-foya yang meriah. Kericuhan yang sering terjadi, terutama karena pengaruh minuman keras, menciptakan ketidakstabilan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi tantangan bagi otoritas gereja dalam menjaga ketertiban moral.
Sejarah hidup pegawai VOC di Batavia menjadi cermin dari kompleksitas hubungan antara kekayaan, kekuasaan, dan moralitas dalam konteks perdagangan kolonial pada masa itu. Meskipun menghadirkan kemakmuran bagi beberapa orang, VOC juga meninggalkan jejak kontroversial yang mencerminkan kompleksitas perjalanan sejarah Indonesia pada abad ke-17. @redaksi