Arti filosofis Ayunan Jantra merangkum konsep roda kehidupan, karma, dan reinkarnasi, menggambarkan kehidupan sebagai perjalanan yang tak terpisahkan dari siklus alam.
KataKabar Online: Budaya – Bali, sebuah pulau yang kaya akan budaya dan tradisi, menjadi tempat lahirnya berbagai permainan tradisional yang sarat akan nilai-nilai sakral. Salah satu permainannya adalah Ayunan Jantra atau yang sering disebut Ayunan Betara di Desa Terunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli.
Ayunan Jantra Sebagai Bagian Rangkaian Upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat
Menurut informasi yang dihimpun dari laman Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Ayunan Jantra memiliki kedekatan erat dengan upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat. Upacara ini merupakan bagian dari rangkaian upacara Piodalan yang digelar di Pura Desa Pancering Jagat, Desa Terunyan. Ayunan Jantra, yang berlangsung selama upacara ini, menjadi sebuah pemandangan yang memukau dan sarat makna sakral.
Bentuk dan Bahan Ayunan Jantra di Desa Terunyan
Ayunan Jantra yang digelar di Desa Terunyan memiliki bentuk unik, yaitu berbentuk Tapak Dara atau swastika. Artefak ini terbuat dari dua jenis kayu, kayu kesuna dan kayu owa. Upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat sebagai tempat berlangsungnya Ayunan Jantra dilakukan secara ritualistik, dengan frekuensi pelaksanaan setiap dua tahun sekali.
Filosofi yang terkandung dalam Ayunan Jantra menggambarkan kehidupan manusia sebagai perputaran roda kehidupan. Simbol swastika yang ada pada ayunan dapat diputar ke arah kanan dan kiri, merepresentasikan keseimbangan dalam hidup. Ini menjadi pedoman masyarakat Terunyan untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak ada warga desa yang ekstrem kaya atau miskin.
Sibak Luh dan Sibak Muani: Pembagian Masyarakat Desa Terunyan
Masyarakat Desa Terunyan mengenal istilah Sibak Luh dan Sibak Muani. Istilah ini mencerminkan pembagian kelompok masyarakat di desa tersebut, yang terdiri dari Sibak Kaje (Sibak Luh) dan Sibak Kelod (Sibak Muani). Kehidupan sehari-hari di Desa Terunyan melibatkan kedua kelompok ini secara bersama-sama, terutama dalam proses pembuatan Ayunan Jantra.
Proses pembuatan Ayunan Jantra melibatkan kerjasama antara Krama Sibak Luh dan Sibak Muani, mulai dari pencarian kayu kesuna dan kayu owa. Kayu kesuna ditemukan di hutan sekitar Terunyan oleh warga Sibak Luh, sementara kayu owa dicari oleh Sibak Muani. Setelah kedua jenis kayu tersebut ditemukan, persiapan dilakukan untuk membuat canggah (tiang penopang).
Proses Pembuatan Ayunan Jantra
Proses pembuatan Ayunan Jantra melibatkan beberapa tahap yang dilakukan secara cermat dan hati-hati. Setelah canggah dari kayu kesuna dan kayu owa selesai dibuat, langkah selanjutnya adalah mendirikan tiang ayunan. Tiang dari kayu kesuna akan ditanam di sebelah timur (kaja/utara di Terunyan), sementara tiang dari kayu owa akan ditanam di sebelah barat (kelod/selatan Terunyan).
Setelah tahap pemasangan tiang selesai, langkah berikutnya adalah mempersiapkan tempat duduk Ayunan Jantra yang berjumlah empat buah. Penting untuk dicatat bahwa partisipasi dalam Ayunan Jantra terbatas pada warga dari kedua kelompok, Sibak Luh dan Sibak Muani, yang secara bergantian menaiki ayunan.
Mantening Ayunan: Upacara Sebagai Penghormatan Terhadap Ayunan Jantra
Sebelum melibatkan diri dalam permainan Ayunan Jantra, masyarakat Terunyan mengawalinya dengan upacara Mantening Ayunan. Upacara ini memiliki makna mendalam, di mana sajian diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada Ayunan Jantra. Pelaksanaan upacara ini umumnya dilakukan pada malam hari, sementara pagi dan siang harinya dihabiskan untuk mempersiapkan bahan-bahan sajian.
Persiapan sajian melibatkan aktivitas seperti menyembelih seekor babi besar, mengukir janur, dan menyiapkan daun kelapa muda, daun lontar, serta daun aren. Upacara ini bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga menjadi langkah awal dalam menyambut permainan Ayunan Jantra sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Terunyan.
Filosofi Ayunan Jantra dan Makna dalam Kehidupan
Ayunan Jantra tidak hanya dianggap sebagai permainan tradisional semata, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam dalam kehidupan masyarakat Terunyan. Secara filosofis, Ayunan Jantra mencerminkan perputaran kehidupan di dunia ini, terkait dengan konsep roda perputaran nasib, karma, dan siklus kehidupan.
Konsep roda perputaran kehidupan dihubungkan dengan filosofi kelahiran (utpeti), kehidupan (stiti), kematian (praline), dan reinkarnasi (numitis/numadi). Ini merujuk pada kehidupan setelah mati, di mana seseorang dapat lahir kembali ke dunia ini sebagai manusia, binatang, hewan, serangga, atau bentuk kehidupan lainnya. Proses ini dipengaruhi oleh baik atau buruknya perbuatan seseorang (cubha acubha karma) saat hidup di dunia sebelumnya.
Ayunan Jantra sebagai Warisan Budaya dan Filosofi Hidup
Ayunan Jantra bukan sekadar permainan tradisional, melainkan warisan budaya yang kaya akan makna dan filosofi. Di Desa Terunyan, permainan ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga menjadi cerminan nilai-nilai keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses pembuatan Ayunan Jantra, masyarakat Sibak Luh dan Sibak Muani bersatu untuk menciptakan simbol kehidupan yang mencerminkan harmoni dan kesetaraan.
Sebagai bagian dari upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat, Ayunan Jantra menjadi bukti nyata keberlanjutan tradisi dan kepercayaan masyarakat Terunyan. Dengan filosofi yang terkandung di dalamnya, Ayunan Jantra tidak hanya menjadi warisan budaya Bali yang perlu dilestarikan, tetapi juga menginspirasi untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan sehari-hari. @redaksi